Sebagai sesuatu yang "final", maka jawaban dari sebuah pertanyaan harus diungkapkan di meja publik sebagai "cita-cita" yang abadi. Dipertahankan dan diperjuangkan hingga terwujud abadi.
Sekitar 100 orang lebih telah bertanya kepada saya tentang hal yang sama yakni cita-cita, profesi, jabatan, karir, gaji, pandangan masa depan, fakultas dan kesukaan yang saya geluti hari ini. Mereka bertanya, terutama terkait masa depan saya, mau berperan sebagai "apa". Lumrah pertanyaan itu saya terima!
Sebagaimana manusia biasa, tentu saya mampu menjawab pertanyaan umum itu, namun saya berpikir, apakah jawaban saya yang apabila saya jawab, saya akan benar-benar menjadi jawaban yang saya jawab. Jawaban dari setiap pertanyaan belum tentu mengantarkan seseorang pada "kenyataan" wujud jawab.
Tanya-Jawab persoalan realistis itu bagi saya terlalu dilematis, apalagi tentang masa depan dan kehidupan yang dinamis ini. Terlalu rapuh kuasa saya pribadi untuk menjawab pertanyaan masa depan, misal saya menjawab;
"saya akan aktif di dunia pendidikan".
Jawaban ini tidak lebih sekedar harapan, yang bisa menjadi kenyataan atau bahkan tidak sama sekali menjadi nyata di masa yang akan datang. Saya tidak punya kuasa lebih kecuali sekedar "Kuasa harapan". Maka, harapan adalah jawaban paling faktual untuk menjawab segala kerisauan manusia tentang masa depan.
Hidup saya dikuasai harapan, setiap rencana saya hidup di dalam harap, bahkan hidup saya tidak lebih dari sekedar harapan. Dari hal itu, setiap rencana bahkan cita-cita tak dapat saya pastikan, hanya dapat saya kuasai sebagai esensi dari harapan itu sendiri. Itu hanya harapan saja.
Saya hanya hidup dengan harapan saya; Kelak, saya berharap, saya bisa membangun usaha besar yang mempekerjakan orang-orang, entahlah, usaha bidang apa.
Pada usaha (perusahaan) besar inilah, saya akan membangun sekolah bagi para pekerja di perusahaan saya. Mereka bekerja, dapat uang, tentu mereka juga perlu disekolahkan secara integral dengan perusahaan yang akan saya bangun ini.
Orientasi perusahaan yang akan saya bangun tidaklah materialistis atau pragmatis, tetapi justru saya ingin menolak keduanya dengan cara menguasainya, lalu melalui jalan kompromi akan membawa para pekerja pada adagium faktis yaitu "Buruh Sekolah", sekolah untuk para pekerja.
Ini sebagai harapan, agar orang-orang tidak perlu berpikir kerja dan penghidupan saat masih sekolah. Karena mereka dapat kerja, bekerja, maka saya pikir, mereka akan lebih fokus sekolah dan mengkaji pengetahuan yang Allah hamparkan di bumi ini.
Komentar
Posting Komentar