Pencarian Jati diri ; Petualangan Pikir

Bukan suatu keniscayaan, apabila sikap dan pola pikir manusia tunduk pada suatu kondisi dan lingkungan tertentu. Sikap dan pola pikir selalu terarah sekaligus terbentuk oleh tekanan, kebebasan, saran dan kritik lingkungan. Lingkungan hidup; tatanan sosial, struktur sosial, posisi dan kedudukan orang tua, masyarakat, teman, saudara, sahabat, pemimpin adalah lingkungan hidup yang paling berperan dalam menciptakan suatu pola pikir dan sikap manusia. Dalam hal ini, karakter manusia, dapat ditelaah melalui kajian sosial dan lingkungan hidup ( geografis dan sosiologis ).

Apa makna yang sebenar-benarnya jati diri dalam konsep sosial atau lebih sederhana, jati diri dalam kehidupan bermasyarakat. Apakah jati diri adalah sebuah gambar diri? Atau sebuah identitas diri ? Ataukah, jati diri merupakan esensi diri ?. Apa sebenarnya jati diri, apakah munculnya keinginan kuat dalam diri menuju suatu arah tertentu itu jati diri?. Lalu apa makna dari mencari jati diri?. Mengapa jati diri perlu dicari? Bukankah dalam diri manusia, masing-masing sudah terdapat satu konsep matang terkait jati diri. Lalu apa jati diri?. Jangan terlalu bercabang untuk memahami jati diri, diatas hanya pertanyaan pengantar terkait makna jati diri yang multidimensional.

Mungkin, tidak perlu saya sampaikan kembali beberapa teori genetik bahwa manusia dilahirkan membawa sikap dan karakter( kerangka teori yang kontroversial ). Juga tidak perlu saya ulas, bagaimana karakter manusia terbentuk melalui jaringan interaksi sosial antar individu. Juga tidak perlu saya ungkapkan bagaimana proses saling mempengaruhi saat berkomunikasi antar individu. Dengan cukup jelas, saya ingin menyampaikan bahwa karakter, sikap dan kecerdasan, serta idealisme itu merupakan hasil dari rumah produksi ; lingkungan sosial yang berlangsung terus-menerus, turun-temurun, da itu cukup lama sekali.

Kita tidak dapat memaksakan perubahan arah, sikap manusia dalam beberapa hari, waktu yang relatif singkat. Karena, tanpa terus-menerus diinteraksikan, sikap itu tidak akan pernah berubah menjadi sikap yang lain. Dalam hal ini, lingkungan dan pemasyarakatan adalah hal utama untuk dibahas dalam menciptakan perubahan karakter manusia. Siklus waktu atau konsistensi inilah yang menjadi kata kunci dari sebuah proses pembentukan dan proses perubahan karakter. Ada tiga kata kunci pokok dalam pembahasan induktif ini ; Jati diri, lingkungan, waktu.

Prihal jati diri, saya akan mencoba lebih dalam membuka kejumudan pikir yang selama ini mungkin belum terpecahkan, yakni prihal kecerdasan dan identitas diri. Kecerdasan sejatinya bukan hasil dari bakat dan proses belajar dalam waktu singkat, melainkan ; kecerdesan merupakan hasil dari proses menerimanya otak terhadap segala asupan pengetahuan. Pendeknya, jati diri adalah terbukanya otak dan hati dalam menerima ide-ide konstruktif yang sebelum itu telah dilatih oleh lingkungan hidup dimana seseorang itu tinggal.

Dalam hal ini, misalkan kita ambil satu contoh klasik ; OSPEK kampus dengan warna pelatihan mirip militer. Mahasiswa baru dibentak, diperlakukan dengan sangar, keras dan kata-kata yang kurang baik didengar. Mereka para panitia menganggap itu sebuah agenda pelatihan, agenda pengenalan, agenda pembentukan mental. Saya rasa itu persepsi fatal, OSPEK hanya 3-5 hari saja, karakter dan kecerdasan tidak akan berubah pada waktu itu pula, dalam arti pendek ; OSPEK tidak begitu berpengaruh significant pada mahasiswa pasca OSPEK itu sendiri.

Yang akan merubah karakter dan kecerdasannya adalah lingkungan kampus selama empat tahun, dari awal masuk kampus hingga diwisuda. Karena memang tidak ada pengaruh significant, maka cukup perlu adanya reformulasi sistem dan teknis Pelaksanaan OSPEK di perguruan tinggi di Indonesia. Agar ini tidak hanya menjadi kerangka kosong, silahkan lihat perbedaan antara Peserta OSPEK yang memang baru masuk kuliah, dengan mereka yang semester 3 tapi baru ikut OSPEK.

Tampak, bahwa memang, selama formulasi teknis dan konsep OSPEK tidak berubah, sejak 20 tahun lalu hingga saat ini, maka menunjukkan betapa OSPEK ini telah gagal dalam menciptakan jati diri mahasiswa, kampus, akademisi, aktivis. Apalagi secara intrinsik, para panitia termotivasi untuk membalas masa lalunya dulu saat jadi mahasiwa baru. Jika memang tidak demikian, silahkan para pengurus BEM se Indonesia untuk berbicara masalah OSPEK, bagaimana teknis dan apa valuesnya dengan kegiatan yang mirip militer dan perpeloncoan tersebut. Tidak butuh jawabab spekulatif, saya khawatir, OSPEK hanya formalitas saja yang didalamnya terselip ketidakjelasan arah dan prinsip pelaksanaan yang baik dan matang terkonsep.

Lalu, bagaimana jati diri, lingkungan dan waktu berasosiasi dalam membentuk kecerdasan dan identitas?. Ketiganya berasosiasi dalam satu lingkungan sosial-pendidikan, masuk dalam tatanan dan struktur, berproses didalam sebuah naungan institutif. Jika seseorang berada dikampus, maka kampuslah tempat asosiasinya, jika berada dirumah, maka rumahlah tempat asosiasinya, jika seseorang berada di organisasi, maka disanalah tempat asosiasi ; jati diri, lingkungan dan waktu.

Namun, yang perlu diingat kembali adalah, jati diri merupakan kondisi dimana diri manusia menerima terhadap segala gesekan yang datang dari luar diri manusia itu. Empat tahun, mungkin waktu yang cukup lama, tetapi apabila kita menolak masuknya kebaikan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan yang datang pada diri kita, maka kita tidak akan menemukan jati diri itu. Sebab, Jati diri adalah prihal kebaikan, prihal kebenaran, prihal kebijaksanaan. Lingkungan hanya menjadi tempat dimana jati diri diolah, dibentuk dan diciptakan, waktu hanya menjadi penanda urutan saja. Maka dalam hal ini, Jati diri manusia berada jauh lebih dalam dari sekedar pakaian diri, pangkat, peringkat, jabatan dan kursi kemuliaan. Jati diri selalu tersimpan, terpendam namun tumbuh menjulang tinggi menjadi prinsip dan pegangan dalam menjalani hidup di semesta ini.

Jati diri adalah menerimanya diri terhadap kebaikan sehingga kita mampu berpengetahuan dengan baik.

Komentar