Di warung kopi kuno yang terbuat dari kayu ini aku dan sahabat-sahabatku setiap malam ngopi bersama. Konon warung kopi kuno ini sezaman dengan masa kemerdekaan Indonesia. Pak ayyub pemilik warung kopi ini. Usianya sudah lanjut, namun tetap sehat dan mampu melayani para pembeli yang datang ke warungnya dengan lincah.
Warung kopi ini merupakan satu-satunya warisan dari orang tua Pak ayyub yang masih utuh berdiri tanpa renovasi. Beliau bersama istrinya melayani para peminum kopi diwarungnya. Dua dari lima anaknya telah menikah, sedangkan tiga anaknya masih kuliah diperguruan tinggi di luar pulau Madura. Biaya kuliah lima anaknya murni berasal dari usaha Warung Kopi ini.
Warung Kopi ini bisa dikatakan keramat karena hampir semua orang-orang besar Indonesia pernah mampir minum kopi ke warung ini. Konon, disini pula para Kiai madura beristirahat dan minum kopi satelah menunaikan tugas agama atau melakukan perjalanan panjang dari jawa ke madura dulu, bahkan saat ini masih banyak tokoh-tokoh madura yang menyempatkan untuk datang ke Warung Kopi ini.
Aku dan teman-teman juga menjadi penghuni dan penikmat kopi angkatan akhir di warung Kopi yang diberi nama "Doeloe" ini.
"Mengapa justru kita yang tersudutkan? "
Tanya memet disela-sela obrolan santai bersama secangkir kopi.
"Bukankah kita mengusahakan yang terbaik untuk diri kita masing-masing dan organisasi? Mengapa justru kita yang seakan-akan salah? "
Memet makin dalam bertanya, makin runcing mempersoalkanya.
" Itulah yang tidak masuk diakal selama ini. Kita melawan kaum mayoritas, kita berbelok dari arah mayoritas, kita membuat arah sendiri. Kita melakukan hal ini semua hanya untuk menunjukkan bahwa organisasi yang kita masuki harus dirombak sistem kaderisasinya, nilai-nilainya, etikanya. Harus hijrah dari organisasi biadab ke beradab. Persoalan pertama, ada tidak yang paham tujuan kita ini? Yang kedua, ketika kita masuk kesana, bisakah kita merubahnya? Atau jangan-jangan justru kita akan terjerumus dan tergelincir. Namun ketika kita meninggalkan organisasi, justru kita dianggap khianat. Persoalannya saat ini, adakah diantara mereka yang menuduh kita khianat atau bahkan kita sendiri mampu memberikan jalan terbaik?. Kita Dilema"
Maulidi angkat bicara, sosok mahasiswa pendiam yang cerdik. Sosok mahasiswa yang jeli menilai segala persoalan. Sosok mahasiswa yang tidak suka kompromi atas tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang organisasi.
"Nah, itu. Ini bukan buah delima, tapi Dilema sungguhan. Kalau buah dilema enak, bisa dimakan"
Sejurus dikeluarkan oleh yanto.
"Ha...ha..ha..ha, Jangan terlalu serius. Tapi kita harus berbuat sesuatu"
Sosok mahasiswa yang tidak pernah serius, memecah ruang buntu yang daritadi diperbincangkan. Yanto, mahasiswa fakutltas Tarbiyah.
"Itulah mengapa hingga saat ini, Indonesia tidak maju-maju. Benar kata syahrini, Maju - Mundur cantik. Maju ke media hanya pencitraan dan mundur kebelakang berbuat sesuatu yang berbeda"
Aab menambah suasana makin pecah. Inilah suasana ngopi, suasana bebas tapi terkendali, cerdas mendalam dan terarah pada topik pilihan yang didiskusikan. Aku dan mereka tengah berdendang, memutar dan mengolah pikiran ditengah pahit manisnya kopi yang disuguhkan ditengah majelis ini.
"Tambah Kopinya Pak"
Sepertinya dengan menambah kopi, diskusi ini tidak akan pernah usai dan tidak akan pernah berujung. Selama tidak ada kantuk, diskusi akan tetap berlanjut, bahkan sampai adzan shubuh-pun.
Aku dan mereka hanya bekerja untuk mengasah kemampuan dan keilmuan, diskusi merupakan perusahaan utamanya yang memproduksi ilmuan dan pemikir diantara kita suatu saat nanti.
"Haus Yadl?. Beli air, jangan nambah kopi"
Jurus yang kedua, Yanto mulai makin menjadi-jadi saja. Dia pikir aku haus.
" Ya, beginilah!. Kopi itu instrumen pemecah kebuntuan, penunjang nuansa kecerdasan, penunjuk jalan yang tiada akhir mengarahkan dan yang paling penting kopi itu satu-satunya kegelapan yang melahirkan jalan terang. Hahaha "
Aku pun tak ingin kalah persoalan jurus-menjurus jenaka. Percakapan masalah kopi sudah lama menjadi puisi malam yang dipanggungkan di sela-sela diskusi di Warung Kopi "Doeloe" ini.
" Nasib kita sungguh tragis. Tujuan kita ingin merubah pola-pola berorganisasi ala parpol menjadi organisasi yang berperadaban pengetahuan sungguh tidak seperti yang kita pikirkan selama ini. Sungguh ini tantangan yang amat besar. Kita berada ditengah orang-orang dan budaya organisasi yang tidak paham organisasinya"
Aku pun melanjutkan.
"Mereka berorganisasi untuk memperoleh popularitas, mengejar jabatan di kampus, berkuasa atas orang-orang yang tidak berorganisasi, berkuasa atas kader, membenarkan kelompoknya sendiri, mencari pacar, memperoleh sanjungan. Kita ingin mengubah pola-pola macam ini yang telah puluhan tahun mengakar pada organisasi dan sistem kaderisasi yang berlangsung dengan penuh khidmat. Kita golongan pinggir dan minoritas, mereka kaum-kaum terdepan dan mayoritas elit dikalangan publik. Kita akan lebih utama salah jika kita tidak punya komitmen dan konsitensi dalam persoalan ini dan itu butuh waktu"
Aku tak bisa memendekkan kata-kataku menjadi simple dan pendek. Begitulah adanya, panjang dan lebar serta bersisi-sisi.
"Gerakan Idealis beresiko tinggi, kita terancam terasingkan, terkucilkan, difitnah bahkan akan dimarjinalkan. Dimanapun begitu. Dulu, bapakku dibenci oleh kawan-kawannya karena sering terlambat masuk kelas. Sekarang yang dibenci adalah mereka yang masuk kelas sebelum waktunya. Semuanya terbalik. Dulu, orang jujur disukai banyak orang, kini orang jujur justru banyak dibenci. Hanya pada sisi-sisi tertentu orang jujur dan disiplin dibutuhkan, mentok hanya dibutuhkan sebagai cerita pada ceramah-ceramah belaka"
Arief mengungkapkan argumentasinya dengan lugas dan lancar sekali. Dia mahasiswa yang berpengalaman, dia sosok mahasiswa yang suka berpetualangan pikir.
" Jika kita ingin bergerak pada garis gerakan Ideal ini, maka kita harus siap mengemban resiko besar ini. Itulah kesatria "
Latif ikut memantapkan musyawarah kami ini. Aku lihat, teman-teman yang lain sama-sama antusias membahas ini. Kami semua nyambung dalam membahas ini yang sudah berkali-kali dibahas. Pertemanan kami dimulai sejak pertama kali masuk kampus. Kami bertemu di forum-foruk kecil pada saat masih mahasiswa baru hingga bertemu di Organisasi.
"Kalau bapakku dulu dibenci oleh ibuku karena pulang kerumah tepat waktu tapi tidak bawa oleh-oleh "
Yanto ada-ada saja.
****
( Puisi Malam kami)
Kami terbiasa bernyanyi ditengah malam yang larut menyusul pagi. Kami mengendap-ngendap berpose dengan kopi hitam pekat pahit dan manis. Waktu yang memotret setiap gaya dan pola pikir kami.
Untaian kata tercatat dalam ikrar dan rekomendasi gerakan yang lahir dari Warung Kopi Doeloe ini. Kami melipat keterbatasan menjadi lintasan pendek yang tak terbatas oleh jarak dan waktu, karena malam bagi kami adalah sama hitamnya dengan kopi yang tumpah pada gelas-gelas kecil. Mata yang terpejam, malam yang gelap, kopi yang hitam pekat adalah satu nuansa satu padu yang akan mendobrak kebekuan dan kebiadaban yang selama ini disadari sebagai suatu "Zaman" yang perlu dimaklumi.
Pada kopi, ide-ide kami tumpah bersama-sama, menjadi peminum berdahaga pekat manis dan pahitnya kopi. Ada filosofi yang terkandung dalam secangkir kopi, apabila filosofi ini dibongkar maka para filosof barat akan iri dan menyesal telah tidak datang ke Warung Kopi "Doeloe" ini.
Pada kopi, nilai kehidupan ini diwakilkan untuk dipahami, dunia ini, terkadang pahit pula manis, bola mata yang hitam bersemayam pada hitamnya kopi, namun tidak menghitamkan segala pandangan melainkan menetralisir segala kebuntuan. Minum "Kopi merupakan satu-satunya jalan buntu agar tidak buntu". Semboyan Pak Ayyub. Dalam betul filosofinya.
Diskusi kami usai jam 02.47. Kami pulang bersama menuju rumah kost yang tidak begitu jauh jaraknya dari Warung Kopi Doeloe.
Komentar
Posting Komentar