Hubungan Teori dan Praktek


SEPARATISME KONSEPTUAL

TEORI DAN PRAKTEK DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

(Sebuah Kajian Dialektika Definitif)


Baik tangan maupun nalar apabila dipisahkan satu sama lain maka tidak akan berguna apa-apa


-Francis Bacon-


Satu tantangan terbesar para kaum cendikiawan teoritis adalah menyatukan satu komponen teoritis kedalam satu komponen praksis. Banyak hal yang kita ketahui dari berbagai macam konsep hanya berdiam dalam satu komponen teoritis, pergulatan teori menjadi adegan menakjubkan dalam satu tatanan pikir manusia, keberagaman dan toleransi perbedaan hanya jadi konsep abstrak yang belum tuntas dimaknai dengan realisasi konkrit pemikir yang beramal.” Pemikir dan Pekerja[1]”

            Urgensitas kehidupan dalam peradaban ilmu pengetahuan yang tidak terbantahkan adalah keadaan dimana manusia mengetahui(Berteori) mampu mengamalkan (Praksis)apa yang telah diketahui, sehingga tidak ada dekonstruksi genetis terhadap pola dan perkembangan hidup manusia di muka bumi. Dalam satu sikap tak terbantahkan filsuf dan ahli pendidikan Inggris Alferd North Whitehead dalam artikelnya Technical Education And Its Relations to Science and Literature mengatakan “Dalam mengajar, anda akan segera sampai pada kegaualaun setelah anda tau bahwa murid-murid anda memiliki tubuh. Dan satu point yang dapat diperdebatkan apakah tangan manusia telah menciptakan otak yang kini dimilikinya, atau otak itu menciptakan tangan, yang jelas hubungannya sangat erat dan dua-arah” .

            Kehidupan manusia mengalir dalam satu komponen kebutuhan dimana manusia pra-sejarah tidak pernah menyadari adanya satu kekuatan dalam dirinya yaitu mampu berpikir (Thinking Power) sehingga corak kehidupan yang diterapkan adalah pola kebutuhan hidup (Living Needs Power) untuk makan dan mempertahankan kehidupannya saja secara berkelompok. Cermin ini menunjukkan suatu potret analisis diluar kesadaran, satu kesadaran pikir manusia pra sejarah yang tidak menyadari adanya kekuatan besar dalam diri manusia, sehingga pola hidup manusia enggan berkembang lebih teoritis, hanya bersifat praksis temporal. Sejarah ini adalah rumpun konsep yang sampai saat ini masih goo-empirics dalam diri manusia yang terus berdialektika dengan perkembangan kesadaran berpikir manusia dalam berteori yang semakin hari berkembang lebih cerdik.

            Pada sisi ini, Universalitas kehidupan manusia diwarnai satu komponen principal, yaitu elaborasi kombinatif antara teori dan praktek, antara pemikir dan pekerja. Dalam kontekstualisasi teori dalam ilmu pengetahuan dan praktis dalam peradaban manusia memperakarsai kemajuan pesat hidup manusia, Ilmu pengetahuan semakin maju, kedokteran semakin mewarnai, sastra, filsafat, tekhnologi yang saat ini telah merajai hidup manusia, membelenggu pola hidup manusia, menginternalisasikan keberagaman teori teori ilmu pengetahuan modern dalam revolusi ilmu pengetahuan. Fakta ini semakin membawa satu peradaban manusia yang lebih teoritis yang disebabkan Overlapping konsep yang belum tuntas direalisasikan dan hanya bersemayam menjadi satu trending Issue pengetahuan teoritis belaka.

            Donaldson menulis[2] “Apakah hanya beberapa dari kita yang mampu bergerak keluar dari ikatan indera manusia dan bekerja dengan sukses dari sana, saya meragukan hal itu. Walaupun mungkin masuk nalar jika kita mempostulatkan bahwa masing-masing memiliki satu potensi intelektual yang ditentukan secara genetik dimana satu orang akan berbeda dengan yang lain, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa kebanyakan dari kita- atau siapapun dari kita- tidak akan dapat mewujudkan apa yang sebenarnya kita mampu lakukan. Dan bahkan tidaklah pantas bahwa akan masuk nalar jika kita berpikir mengenai sebuah limit atas apapun ” dalam hal ini Jarome Bruner mengatakan [3] “Terdapatlah alat-alat bagi otak sebagaimana alat-alat bagi tangan. Dan dalam tiap kasus perkembangan dari alat baru yang kuat akan membawa satu kemungkinan untuk menyingkirkan batas-batas itu ”  sehingga David Olson Mengatakan “Kecerdasan bukanlah satu milik kita yang tidak dapat berubah: itu adalah sesuatu yang dapat dipelihara dengan bekerja melalui teknologi, atau sesuatu yang dapat kita ciptakan dengan menciptakan teknologi baru”. Ini adalah fakta dilektis yang mampu membawa satu dampak kritis atas satu proyeksi yang tidak disadari atau kegemaran masyarakat berhubungan dengan “Pemikir dan Pekerja “.

            Pengelihatan kita yang dapat dijadikan konsep, tidak akan dapat terlepas dari satu fenomena factual yang sangat fundamental dirasakan secara absolute dikalangan Manusia cerdas di era kemajuan global. Sering kali kita menjumpai seminar, kuliah, debat, penulisan-penulisan konsep ternyata terabaikan dalam budaya elaborasi kombinatif masyarakat. Untuk menelusuri satu pristiwa ini adalah dengan cara mengambil satu postulat “Apakah benar perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat membuat belenggu teoritis terhadap kehidupan manusia sehingga manusia tidak dapat terlalu banyak berbuat terhadap kehidupan jasad kita.”. Pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan Sebab yang Akibatnya telah diproklamirkan menjadi Perceraian total antara Teori dan Praktek dalam kehidupan masyarakat yang sangat membahayakan.

            Analisis realistis dijumpai pada praktek direktorium bangsa dalam penyelenggaran system pendidikan dan demokrasi kita. Banyak sekali pejabat yang berpendidikan tinggi namun masih korupsi, banyak sekali guru-guru sekolah yang mencabuli siswanya, banyak sekali alumni pesantren yang keberadaannya meresahkan masyarakat. Lalu potret apa lagi yang dapat diragukan sebagai satu ide dari definisi “Separatisme konseptual Teori dan Praktek dalam kehidupan manusia”.  Sudah terlalu jelas dalam analisis konnjungtif bahwa ada satu predikat yang berupa claim keilmuan terhadap individu yang harus gugur ketika satu teori tidak mampu lagi terealisasikan secara konkrit dalam kehidupan manusia.

            Alasan kemanusiaan sejatinya tidak dapat membuka ruang, dimana predikat untuk Ahli ilmu yang tidak beramal sesuai keilmuan tidak  dapat dijadikan sebagai Single figure dalam pelestarian ilmu pengetahuan sehingga para generasi dan penerus tidak terlena pada satu claim bahwa “Ilmu tidak lagi mampu mengendalikan satu eksistensi hidup manusia yang terlahir fitrah ” sehingga hanya melahirkan satu keputusasaan terhadap keinginan luhur untuk melestarikan satu konstruksi hidup manusia yang berpengatahuan. Dalam satu konteks ini tidak dapat dielakkan adanya penolakan teoritis – praktis, masyarakat pekerja kemudian mengklaim sebagai satu penolakan bahwa unsur penggerak perubahan peradaban manusia bukanlah kecerdasan teoritis dan ide cerdas melainkan kerja nyata tangan dan otak yang sederhana, disisi lain kaum teoritis menolak dengan tetap mentendensikan satu rampun konsep bahwa kehidupan dibangun oleh teori-teori keilmuan secara mutlak. Kontradiktoris claim pemahaman ini akan membahayakan apabila keduanya sama dibenarkan, juga sangat membingungkan apabila sama-sama disalahkan.

            Ada roh yang harus diperbaiki sebagai pengikat elaborasi kombinatif teori dan praktis yaitu  menempatkan satu kesadaran praktis dimana hidup manusia dimulai dari kesadaran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus menjadi kebutuhan pokok hidup manusia bukan kebutuhan pokok akademis dan ilmu pengetahuan saja, sebagaiamana yang dikatakan Said Aqil Siradj “Ilmu hanya untuk ilmu”. Ornamental ilustratif ini sebenarnya suatu semangat abstrak yang harus diwujudkan melalui kesadaran dimana ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar eksistensi teoritis melainkan suatu properti khusus yang mampu melibatkan jasad (pengamalan dalam kehidupan).

            Formulasi hidup berilmu ini harus dibangun dari kesadaran kebutuhan hidup manusia ­–Rahmatan Lil Aalaaminn- sebagai mana yang terdapat dalam hadits “semua manusia akan musnah, kecuali yang berilmu, yang berilmu pula akan musnah  kecuali orang yang mengamalkan, yang mengamalkan pun akan musnah kecuali iya yang ikhlas”. Tidak ada yang benar-benar konkrit dari sisi hadits ini, kecuali hanya roh kesadaran hidup manusia yang kemudian akan melatarbelakangi atas satu kesadaran dimana ilmu bukanlah obyek yang hanya untuk diketahui namun yang lebih penting adalah mengamalkannya sehingga tidak terjadi satu konspirasi communal akan pemegang ahli ilmu teoritis.

            Dalam satu praktek keagamaan justru kita melihat keabsolutan makna hidup lebih berkembang dipesantren ditengah perkembangan ilmu pengetahuan kali ini. Ini menunjukkan ada dua perspektif dalam memposisikan ahli ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern dan ahli ilmu dalam nilainya. Konstelasi ini sejatinya perlu  kita sadari, mendalami karena hanya sebatas ingin menuntaskan rasa ingin mengetahui saja atau mendalami ilmu untuk kebutuhan hidup manusia secara normatif.  Ulasan ini memang menginterfensikan sisi agama islam, namun ini bukanlah satu lokomotif keyakinan, tetapi apabila agama islam diyakini sebagai suatu sumber pengetahuan yang benar dan terealisasi secara logis dalam hidup manusia mangapa kita justru enggan melarikan diri pada konsep agama islam ini. Justru ini kemudian yang dapat dijadikan satu pijakan benar atas hilangnya ruh elaborasi kombinatif teori dan praktek yang separatis dan tidak otentik.

            Fenomena separatisme konseptual ini mulai menyeruat dalam sisi kehidupan manusia modern. Satu ilustrasi klasik Islam menyikapi hal ini seperti hadits yang disabdakan Nabi “Tidaklah seorang berilmu sampai ia belajar, tidaklah seorang berilmu terhadap suatu ilmu sampai ia mengamalkannya” dan melanjutkan Fudhail bin Iyadh Rahimullah berkata “Seorang Alim (berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya, dan apabila ia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar alim (berilmu)”. Ini satu statement control modern yang terlahir di era tradisi islam ketika Rasulullah[4] masih hidup. Dalam satu analisis, apa yang menyebabkan satu hadits sampai saat ini tetap menjadi satu rujukan penting kehidupan manusia modern, lepas dari satu keyakinan beragama ternyata hadits mampu melestarikan dan memberikan solusi kehidupan yang mulia dalam sisi kehidupan sosial manusia beragama Islam.

            Analisa ini seharusnya menjadi Auto-Critic bagi umat manusia di muka bumi ini, Konstelasi separatisme Konseptual Teori dan Praktis ini seharusnya terlahir dari satu nilai luhur dan kesadaran yang suci terhadap tanggung jawab seorang ilmu dalam mengamalkan ilmunya. Dari paparan hadits diatas sebenarnya merupakan suatu kekhawatiran yang tidak disadari oleh umat islam yang terjadi sebelum ada perceraian Teori dan Praktek di barat. Indikasi ini pula cukup penting untuk menformulasikan akreditasi konstruktif terhadap nilai-nilai keilmuan.

            Dalam analisis lanjutan dalam surat (Al-Waqi’ah : 24) “A reward For they used to do” dalam Firman Allah diatas “sebagai balasan bagi apa yang telah dia lakukan” bukan “ balasan Atas apa yang telah diketahui” . Ini merupakan rumpun nilai yang dapat mengontrol aktivitas keilmuan manusia di muka bumi. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa harmonisasi nilai dan ruh Ilmu pengetahuan adalah mampu mengelaborasi sisi Teoritis dan Praktis dalam eksistensi Ilmu pengetahuan. Ini adalah kritik bagi ahli pengetahuan  yang hanya meniti realitas ruang kosong Ilmu pengetahuan modern. Dalam pembahasan ini tidak kemudian penulis menjustifikasi secara general pola hidup pengetahuan modern perlu direkonstruksi dalam formulasi baru. Pendeknya, satu ilmu pengetahuan seharusnya berdiri secara kolaboratif antara teori dan praktek dalam kesadaran luhur sehingga tercipta satu nilai atau ruh pengetahuan yang tidak akan semakin menjauh dari nilai-nilai kebenaran yang kompleks di aktualisasikan dari Al-Qur’an.


[1] Satu konsep bahasa istilah dalam revolusi pengetahuan modern  yang menjustifikasi adanya perceraian total antara teori dan praktek dalam ilmu pengetahuan.

[2] Tulisan Donaldson dikutip oleh Alan Wood dan Tad Grant dalam buku “Reason In revolt “ yang dijadikan sebagai referensi reflektif ide tulisan ini.

[3] Satu kutipan sama, namun penulis pisahkan sebagai analisis terpisah yang mengandung makna detail yang lebih luas dari apa yang dikatakan dua tokoh dalam satu kutipan yang terdapat dalam buku itu.

[4] Dalam satu refrensi Tokoh-Tokoh yang diabadikan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Nabi mampu memprediksi masa yang akan datang, sehingga sabda-sabdanya selain dituntun dan dijamin kebenarannya yang solutif bagi manusia oleh Allah, Nabi Muhammad juga dapat memprediksi suatu keadaan dimasa depan tentang problematika umat islam.

Komentar