Makan di Warteg atau Kafe sebetulnya sedikit sama saja, kebanyakan intinya sama saja. Prosesi minum dan makannya sama saja, do'anya juga sama. Gizinya juga mirip, meski banyak beda dari tekstur makanannya dan table mannernya.
Saya pikir, itu sederhana. Cukup sederhana dan tidak sama sekali krusial, karena hanya persoalan perut, jika murni persoalan perut. Jika tidak, mungkin tidak lagi sederhana. Mungkin, makan di restaurant dan warteg membedakan isi dompet, style, pula selfie-nya. Diluar persoalan perut. Mungkin begitu, tidak esensial.
Tapi, bagi orang kaya, ber-Uang, makan di Resto dan Dinner di Kafe adalah bagian dari ciri dan identitas "Kaya" yang apabila tidak ditunaikan seiring identitas tersebut akan menyebabkan si kaya tidak beridentitas kaya, kaya yang merakyat ke warteg sederhana. Si Kaya yang bergaya masyarakat biasa. Artinya dia pernah miskin.
Bagaimana dengan si Miskin, bagaimana ketika ia bergaya layaknya orang kaya, miskin yang berperasaan kaya, artinya si Miskin yang tetap miskin tapi berperasaan kaya lalu masuk resto dan kafe megah dengan tujuan diluar persoalan perut; tidak hanya soal makan. Tentu, akan tergoncang identitasnya sebagai si miskin yang konsisten. Ia yang berperasaan kaya tanpa pernah jadi kaya, beda dengan Ia yang kaya karena dulu pernah miskin.
Keduanya; hanya perasaan, goncangan batin atau Desire Flaming, bukan soal esensialnya, tapi soal kemasannya. Sejatinya kita bisa makan nasi jagung di Kafe mewah manapun, jika hanya soal makan, tapi perasaan "Ganjil" mungkin akan menggangu makan kita. Makan pizza minum air putih itu hal wajar jika hanya soal makan.
Ongki Arista. U.A
Selasa/29/11/2016
Komentar
Posting Komentar