Proses dan Fase Kehidupan Berorganisasi

                                 DARI KECIL

                              Ongki Arista. U.A

" Sebuah adagium ; Jika kau berpikir bahwa kau sudah menjadi besar, maka kau akan berproses menjadi kecil, namun jika kau berpikir bahwa kau kecil, maka akan berproses untuk menjadi lebih besar. Proses itu pikiran "

Dalam tulisan ini, saya hendak memaparkan tentang sebuah pemahaman permulaan atas makna proses. Apa proses itu sebenarnya? apakah proses itu sebuah peralihan? atau sebuah aliran sebagaimana air yang mengalir dari dataran tinggi ke rendah? atau proses itu sebuah cita-cita perubahan diri? atau proses itu sebuah jalan ? lalu siapa yang berjalan?. Saya rasa, pertanyaan ini cukup untuk dijadikan rumus utama perbincangan saya malam ini mengenai proses.

Proses itu sebuah gerak menuju atau eksistensi keterarahan, dari sebuah permulaan menuju sebuah ujung ketertujuaan. Biasanya, orang yang besar karena proses selalu lebih agung daripada mereka yang prematur atau absen dari proses. Eksistensi keterarahan (proses) menuju ujung ketertujuan tak akan pernah tersentuh sama sekali tanpa keberpihakan pikiran dengan alam, tak akan dicapai tanpa peng-alam-an, tak akan diraih tanpa penyatuan pikir dengan alam proses. Pendeknya, proses itu tak dapat diwakilkan pada siapapun. Kita tidak bisa ikut cerdas karena anak kita yang sekolah sampai jenjang S3. Itulah proses yang saya maksud sebagai keberpihakan pikiran dengan alam yang tak dapat direkayasa dan dijual belikan.

( Terlalu bodoh, apabila mereka yang beli ijazah diakui kepintarannya tanpa proses belajar dijenjang Forma dan non-formal, apalagi disebut persamaan )

Proses itu selalu bermula, atau diawali, ada ruang dimana orang yang berproses bermula memulai dan menjadikann sebuah ruang sebagai awal mula. Proses harus diawali oleh keinginan dan niat (tekad) yang kuat sebagai permulaan atas sebuah proses. Sebab, tanpa permulaan sebagai landasan proses, maka tak akan pernah ada eksistensi keterarahan yang berujung pada sebuah ketertujuan proses itu sendiri. Pendeknya, proses itu butuh keinginan dan tekad yang kuat untuk menuju. Proses dan eksistensi akan tertuju sia-sia tanpa niat.

Hukum akal memberlakukan segala sesuatu itu berproses. Akal akan menolak apabila mendapatkan fenomena diluar rumus proses, misal ; tidak sekolah tiba-tiba jadi profesor, tidak pernah bekerja tiba-tiba kaya, tidak pernah ngomong tiba-tiba pandai berpidato, tidak pernah jadi karyawan tiba-tiba jadi bos, tidak pernah paham tentang desa, tiba-tiba jadi kepala desa. Pemisalan ini, sebagai sebuah ilustrasi yang nihil terjadi, kalaupun terjadi, akal akan menolak dengan hukum-hukumnya, akan menggampar realitas-realitas tak berakal ini dengan klarifikasi akal yang logis mengenai sebuah proses alam ( Pengenal ).

Dari landasan teoritis ini, secara konsepsional, kita diajak memperakarsai sebuah pentas baru, yakni realisasi dan aktualisasi proses dalam kehidupan. Proses seseorang perlu diakui sebagai sebuah kebijaksanaan, namun yang perlu diingat, proses ini harus jauh dari rekayasa-rekayasa dan kudeta politis. Perlu saya sampaikan, bahwa proses alamiyah ini dapat ditunjukkan dengan penuhnya pemahaman dan pengalaman sesuai dengan batasan ketertujuan yang daritadi dibahas pada konteks proses.

Proses perlu dimulai dari awal, dari bawah, dari kecil, dari benih. Belajar hal-hal kecil, untuk melatih kepekaan diri sebelum menjadi yang lebih besar. Permulaan proses perlu dimulai dari kecil tidak lain bertujuan agar saat kita telah menjadi orang besar, kita tidak pernah melupakan masa kecil, dimulai dari bawah, agar saat kita diatas, kita tidak lupa pada mereka yang dibawah, dimulai dari benih, agar saat kita berbuah, kita tidak lupa untuk memproduksi benih. Mungkin, filosofi jagung dan tanaman lainnya perlu kita pelajari, dia berawal dari benih, saat tumbuh dewasa, ia tak lupa bahwa benihlah yang membuatnya tumbuh, hingga ia pun berbuah benih. Begitupun kita, proses menuju ketertujuan tidak untuk membuat kita lupa pada awal, pada niat dan tekad awalnya, karena sekali lagi, sebagaimana analisa saya, bahwa proses adalah sebuah eksistensi keterarahan menuju ujung ketertujuan yang dimulai dengan niat dan tekad yang kuat.

Landasan pemahaman ini, kiranya perlu disampaikan untuk mengungkit atau membahas kembali pementasan dramatis negeri kita yang telah krisis proses. Banyak orang-oranf menjadi besar karena kudeta politis, sehingga kebesarannya membuat ia lupa pada mereka orang-orang kecil. Jadi, percuma, kebesaran tanpa proses darI kecil akan menghilangkan nilai dan eksistensi keterarahan sebagaimana hakikat dar proses.

Sebagai bahan untuk mengoreksi, pada pembahasan tentang proses ini juga perlu di-dialogkan pada objek kajian yang lain. Serupa, misalnya ; untuk mengoreksi orang lain, kita butuh untuk mengoreksi diri kita terlebih dahulu, itulah proses ( eksistensi keterarahan) yang saya dengungkan dari tadi. Rumus besar dari tulisan ini hanya satu yakni Proses itu perlu diagungkan sebagai sebuah pengakuan dan eksistensi yang luar biasa. Kita "membangun" bukan "terbangun" atau "dibangunkan". Kita berproses, berpikir alam, beralam pikir. Orang yang tak memahami proses, secara ilustratif adalah mereka-mereka yang mau mengajak shalat, tapi dirinya sendiri tidak shalat atau seorang maling yang menyeru keamanan, atau seorang koruptor yang menyeru anti korupsi.

Komentar