Sarjana dan Pengangguran

    NURANI SARJANA & REFLEKSI PENGANGGURAN

        Studi Kesarjanaan abad 20 menjelang abad ke 21

                                   Ongki Arista. U.A

"Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, ketakutan terbesar yang dialami oleh para siswa atau mahasiswa ketika hendak lulus sekolah atau Perguruan tinggi adalah tidak mendepatkan lapangan pekerjaan. Terlepas ini hasil prasangka, atau memang sebuah penelitian, namun yang jelas, 7 dari 10 atau 70 % orang yang saya tanya menjawab searah dengan pernyataan diatas yakni mereka takut menjadi pengangguran"

Catatan I : Lupakan pekerjaan. Ilmu akan mengantarkan kita secara sendirinya pada tingkatan hidup.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Sarjana adalah orang yang pintar, pandai, cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu dan telah menamatkan starata satu pada perguruan tinggi. Sedangkan Starata satu ini disebutkan lebih tinggi satu tingkat dari gelar sarjana muda.

Definisi ini tentu disepakati bahwa Sarjana, ialah mereka yang berpengetahuan. Definisi sarjana ini tentu tidak lepas dari keberadaan sarjana-sarjana masa lampau. Sebab timbulnya kata atau definisi kata tidak pernah lepas dari sejarah kata itu sendiri saat muncul pertama kali. Jika sarjana diartikan orang berpengetahuan sesuai definisi diatas, maka berarti sarjana masa dulu ialah mereka yang ahli ilmu pengetahuan dan itu sesuai definisi diatas.

Dari definisi ini, kita perlu belajar dan mengeja, Sudahkah kita masuk dalam kategori Sarjana?. Tentu, ini bukan persoalan kritik terhadap eksistensi sarjana, melainkan ini sebuah pertanyaan tertutup yang hanya dapat dijawab dengan memahami kemampuan yang kita miliki lalu mengkaitkannya dengan definisi sarjana.

Catatan II; Benarkah sarjana kita sesuai dengan definisi diatas?

Kesarjanaan ini, pada tahun 2000-an, sangat disegani keberadaannya, bukan karena mereka ahli, melainkan pada waktu itu, akses pendidikan dan ekonomi tidak sepenuhnya mendukung bagi kebanyakan orang untuk melanjutkan sekolah. Sehingga sarjana-sarjana tahun 2000-an berjumlah sedikit, dan karena jumlah mereka yang sedikit, mereka semua tidak pernah berpikir akan pengangguran.

16 tahun hingga tahun 2016, tahun ini, Keadaannya mulai berbeda, hampir terbalik 180 drajat. Jumlah sarjana semakin banyak, mungkin 10 kali lebih banyak dari era 2000-an. Sarjana-sarjana sudah mulai memenuhi plosok desa. Mereka berbahasa arab dan berbahas inggris, berpengetahuan agama dan pengetahuan umum, mereka ahli biologi, kimia, fisika, bahasa dan sastra, sosiologi, hukum, administrasi, ekonomi bisnis. Namun, sayangnya jumlah sarjana yang 10 kali lebih banyak tidak berimbang dengan jumlah lapangan kerja yang ada ditempat tinggal mereka. Sarjana bertambah, lapangan pekerjaan meluas namun tidak seimbang.

Catatan III ; Mencari pekerjaan hanya mengantarkan kita pada pengangguran, Tapi mencipta pekerjaan adalah mental sarjana.

Kebanyakan dari mereka masih bingung; Mereka para sarjana butuh hidup dan biaya hidup, ilmu bahasa dan sciencenya tidak dapat diterapkan begitu saja di desa-desa mereka apalagi mau mendapat biaya hidup dengan keahliannya. Mereka hanya berpikir untuk mengajar di sekolah lokal. Bakatnya yang menakjubkan terpendam, hingga mereka merasa bahwa tak ada tempat untuk menerapkan ilmunya, hingga banyak dari mereka memilih jadi pekerja biasa, pedagang, petani dan nelayan. Itupun menuai kecaman, " sarjana kok jadi nelayan ".

Saat kenyataan ini mulai tidak dipahami dengan baik, maka banyak pula dari mereka masuk kuliah hanya sebetas ingin memenuhi tuntutan pekerjaan. Kuliah hingga S1 agar bisa mengajar, masuk dinas, daftar karyawan perusahaan. Kuliah S2 agar bisa jadi dosen, peneliti, direktur. Sehingga masuk kuliah karena tuntutan zaman atau pekerjaan terkadang menyebabkan kita salah masuk jurusan.

Mereka Masuk bahasa inggris karena di desanya butuh guru bahasa inggris, sehingga meski tidak suka dan ahli bahasa inggris tetap saja memaksakan untuk masuk, sehingga mereka pun terkadang malas kuliah karena setelah beberapa tahun kuliah mulai sadar bahwa jurusan yang ia ambil tidak sesuai dengan bakat dirinya. Toh walaupun ia lulus, hingga sarjana, ia akan terus memberontak, hingga tak jarang sebagian dari guru kita dulu saat kita sekolah tidak tau bahasa inggris malah mengajar bahasa inggris. Pada waktu itu kita bingung, kok bisa jadi guru kalau tidak ahli di bidang yang ia ajar.

Catatan IV : Koreksi kesarjanaan. Pengangguran orang-orang yang berstatus sarjana tidak lain karena mereka memudarkan esensi Kesarjanaannya. Tak jarang, sarjana diremehkan, karena mereka kuliah bukan karena ingin menjadi ahli, tapi mereka ikut tuntutan pekerjaan. hingga keilmuannya hanya jadi sampingan seng penting lulus.

Itulah alur dari semuanya. Mereka berbondong-bondong kuliah karena tuntutan, karena tekanan, profesi, janji atasan. Mereka kemudian tidak fokus mengkaji segala persoalan kuliahnya " yang penting masuk dan lulus dengan gelar S1 ". Sungguh keserjanaan yang memprihatinkan. Melihat SDM desa kita semakin menurun, itu sudah cukup menjadi bukti kemorosotan keilmuan.

Sarjana, mau jadi TKI? Jaga toko ? Ngajar? atau tidak semuanya?

Catatan V ; Bagaimana ketika sarjana S1 tidak lagi dibutuhkan?

Keilmuan tidak berhubungan dengan pangkat, profesi, pekerjaan, status. Banyak mereka yang tidak sekolah menjadi pengusaha dan tiba-tiba yang sarjana nyelonong jadi karyawannya. Ilmu yang kita pelajari hanya berhubungan dengan hidup kita sendiri, cara berpikir, bertindak, berjalan dan berinteraksi. Tidak berhubungan dengan pekerjaan apapun.

Sarjana, antara pengetahuan dan pengangguran. Sarjana bukan hanya soal pangkat atau predikat. Sarjana adalah menyoal keilmuan, mempertanyakan kematangan dan keahlian ilmu yang dimiliki. Protes dan kritik untuk sarjana adalah ketika Sarjana S1 mulai diremehkan.

Komentar