Rangkaian Membaca, Berpikir dan Menulis
Sebagai Monumen dan Medan Hidup Manusia
07 November 2015, Gili raje-Sumenep
“Bagi saya, jika para penguasa meninggalkan
sejarah kekuasaan, maka penulis akan meninggalkan sejarah berupa tulisannya”
Terlalu luas hidup ini untuk
dipersempit dalam satu pembahasan lokal maupun spesifik yang monumental, seandainya
bisa, ingin sekali untuk melebur semua pengetahuan yang dihamparkan menjadi
buku kecil sebagai catatan ilmu tanpa ruang dan waktu yang terbatas agar diri
ini tak menuai kaku dalam perjalanan hidup (Living
life). Tapi saya berpikir itu sangat tidak mungkin, kecuali kita mengambil
langkah strategis dan mengetahui kunci pembuka untuk melepas keterbatasan manusia
di ruang jagad raya ini. Disaat semua hal mulai berbicara tentang luasnya ilmu
pengetahuan dan kemajuan yang begitu pesat ditandai dengan kemajuan tekhnologi
dan laju informasi, maka ada tiga hal dimana kita tidak bisa melarikan diri
darinya sebagai pintu pembuka hidup manusia sejak 500 SM hingga saat ini, yakni
peradaban ilmu pengetahuan yang dimulai dari proses membaca, berpikir dan
menulis, kemudian menjadi laku perjalanan hidup manusia dalam menghadapi segala
tantangan saat ini.
Saya
tidak perlu mengulas bagaimana proses Malaikat Jibril menuntun Nabi Muhammad SAW
dalam membaca atas nama Ilahi, sebab ribuan kali para penulis menyinggungnya,
tentu ini indikasi pokok bahwa membaca sebagai suatu rangkaian pertama merupakan
hal penting untuk dibahas tanpa bantahan. Saya tidak ingin semakin menyinggung
persoalan betapa penting membaca ilmu yang dihamparkan Maha Penguasa tanpa saya
sendiri menyadari dan tersinggung saat membaca tanpa nama Sang Pencipta. Lepas
dari hal itu, karena ini sebuah rangkaian, maka saya akan membahas hal yang
tidak kalah pentingnya yaitu proses berpikir sebagai rangkaian kedua yang secara
filosofis melandasi perbedaan antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui
serta orang yang berpikir dan tidak berpikir, kita dapat melihat betapa
berpikir itu penting saat Rene Descartes memproklamirkan ungkapan terkenalnya “saya berpikir maka saya ada”. Rangkaian
ketiga yakni menulis, bagi saya, menulis merupakan simpul keagungan para
pembaca dan pemikir sebab menulis merupakan satu kekuasaan yang melebihi
kekuasaan para penguasa yang perlu ditunaikan menjadi fase akhir dalam
rangkaian membaca, berpikir serta menulis. Saat pembaca memasuki ruang pikir,
dan pemikir memasuki ruang tulis-menulis, maka hasil tulisannya akan kembali
pada ruang bacaan, artinya tulisan tersebut akan dibaca oleh generasinya,
begitu seterusnya hingga hal ini menjadi sebuah rangkaian ide sistematis. Maka
jelas, tanpa regenerasi, penulis tidak akan pernah punah sampai kapanpun saat
rangkaian membaca, berpikir, menulis sebagai monumen hidup manusia mulai
menguasai medan kehidupan literasi melalui langkah penuh ketergantungan
sebagaimana tiga rangkaian tersebut.
Selama
masih ada penulis, maka pembaca tidak akan menutup mata untuk membaca sebuah
tulisan. Begitupun penulis, ia akan terus menulis saat kemarau telah berganti
gerimis, ini sebuah ketergantungan antara membaca dan menulis yang memposisikan
daya pikir menjadi lokomotifnya. Rangkaian ini seharusnya menjadi satu
elaborasi bagi penulis dan pengelola lembaga kepenulisan dalam menuai sejarah menggairahkan
penuh oretan atau gerak pena dalam perjalanan hidup manusia ditengah ilmu
pengetahuan secara umum, sebagaiamana petuah Imam Al Ghazali tentang persoalan
menulis “Jika engkau bukan putra raja
atau seorang ulama’ besar, maka menulislah”.
Ketika
kita mendengar kata “Membaca”, tentu
dalam benak kita terlintas tentang buku, mungkin saja berupa tumpukan buku yang
penuh dengan ide dan konsep yang ditulis, penuh dengan refrensi, penuh dengan
pengetahuan, pencerahan, jalan, motivasi dan isnpirasi, iya, buku bacaan lahir
dari tulisan-tulisan dan itulah latar tempat dimana proses membaca berlangsung
menjalankan skenarionya. Membaca merupakan pembuka dari segalanya, meski ini
hanya sebuah postulat saya, namun banyaknya seruan dan upaya pembentukan budaya
membaca di lingkungan hidup manusia semisal di sebuah lembaga pendidikan,
masyarakat pesantren, perguruan tinggi menunjukkan betapa membaca itu sangatlah
penting. Pentingnya membaca tidak dapat saya tuliskan dalam tulisan ini, sebab
dialektika pikir yang diperoleh dari proses membaca akan terus berjalan tanpa
terikat dengan ilustrasi meski kemudian menemukan ruang pena yang bertuliskan “ tentang pentingnya membaca”. Membaca
dikatakan sebagai pembuka sebab disitulah ilmu pengetahuan dibentangkan, daya
pikir disusun dan tangan-tangan digerakkan.
Penyusunan
daya pikir ini diawali dengan asupan dan stimulasi pengetahuan, sebagaimana
yang telah saya jelaskan, bahwa ini berawal dari proses membaca, dimana kita
sebagai pembaca mulai terangsang teori, pendapat, konsep dari si penulis buku
yang kita baca. Tanpa disadari begitu jauh, saat kita membaca, terjadi proses
saling mempengaruhi antara buku dan si pembaca. Ini dapat kita lihat tanpa
merasa heran disaat banyak dari pembaca novel misalkan, sampai meneteskan air
mata saat membaca ceritanya yang mengharukan atau orang-orang yang membaca buku
filsafat yang kemudian menyebabkan si pembaca lebih kritis dan berpikir
filosofis atau bagi mereka yang hanya membaca status alay di dinding facebook
kemudian menyebabkan pembaca menjadi ikut-ikutan alay. Fenomena semacam ini
menjadi landasan sosiologis-tekstual menuju kontekstual bahwa dalam proses
membaca terdapat komunikasi saling mempengaruhi, sehingga saat komunikasi
berlangsung antara pembaca dengan buku, tercipta struktur-struktur pikir tanpa
disadari, sehingga banyak penulis novel yang genre dan gaya penulisannya
dipengaruhi oleh novel yang sering ia baca sebelumnya. Ini yang saya maksud
tentang penyusunan daya pikir dalam proses membaca.
Lalu
bagaimana dengan menulis?. Tangan-tangan akan bergerak mengisi ruang kosong
setelah intensitas membaca terus berkesinambungan dengan proses pikir. Sering
membaca akan melatih daya pikir kita, semakin sering membaca maka daya pikir
akan semakin terlatih, tentu penuh dengan asupan pengetahuan, baik sains, sastra,
agama, budaya dan pendidikan. Saat kekuatan pikir mulai takluk pada salah satu
buku, maka pikiran akan dikuasai oleh buku tersebut sehingga kita dapat mengenali
karya seseorang melalui background
bacaannya. Pada sisi lain, kita mungkin tidak pernah berpikir bagaiamana
misalkan dalam proses membaca, kita tidak menghadirkan potensi pikir kita,
mungkin sepenuhnya kita akan menjadi pengutip, sebab daya pikir yang
dinonaktifkan pada saat membaca buku hanya membuat si pembaca kebingungan tanpa
pemerolehan ide apapun. Selain itu pernahkah terbesit mengapa penulis novel
sering membaca novel? Atau para pemikir membaca buku filsafat? Para komika
membaca buku komik? Para humoris membaca buku humor?. Kelinieran semacam ini
bekerja otomatis tanpa kode dan instruksi serta tutorial, didalamnya terdapat
jutaan rahasia tentang minat dan kesamaan ide penulis dalam sebuah tulisan.
Membaca
merupakan pintu pembuka, berpikir sebagai media komunikasi minat dan bakat,
lalu menulis sebagai ladang aplikasi dalam pengikatan ide-ide yang kita dapat
dari buku kemudian memproduksinya kembali menjadi karya kreatif dan inovatif.
Ide dan kreatifitas yang dibangun oleh kekuatan pikiran dan hasil membaca tidak
akan menemukan generasinya jika tidak dituliskan hingga menemukan pembacanya.
Menulis merupakan rangkaian tidak terbatas yang hidup ditengah kematian. Saya
masih berpikir bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Nurchalis Majid, Pramoedya
Ananta Mastoer masih hidup di Indonesia, padahal mereka semua telah kembali
kepadaNya. Saat karyanya dibaca para pembaca, seperti saya misalkan, merasa bahwa
mereka semua masih duduk di sebuah ruangan dan melanjutkan menulis ide-idenya.
Begitupun saya berpikir bahwa Plato, Aristoteles, Betrand Russell, David Hume,
Albert Einstein, Jacques Derrida, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu
Khuldun masih hidup dan tetap berkarya, sebab karya mereka berupa tulisan tidak
pernah mengkeringkan dunia pikir hingga tidak kemarau untuk menyebutnya, seakan
karya mereka berupa ide yang dituliskan saat masih hidup, menghidupi dirinya
ditengah kematian. Ini merupakan satu indikasi berkesinambungan antara membaca,
berpikir dan menulis.
Menulis
adalah pengikat ilmu, belum pernah terjadi bagaiamana seandainya tidak ada
tulisan tentang agama Islam berupa pembukuan Al-Qur’an, Hadits, Tafsir yang
semuanya dijelaskan melalui tulisan para ahli ilmu agama berupa kitab kuning.
Dari sudut inilah, monumen hidup manusia mulai terukir melalui tulisan dan
memasuki suatu peradaban ilmu pengetahuan yang hakiki dan terus berkembang.
Selain hal itu, masih banyak para pembaca dan pemikir yang tidak menuliskan
idenya dalam bentuk tulisan, sehingga hanya terbatas dan tidak tercium generasi
selanjutnya, tertelan waktu, jauh dari sejarah dan kehidupan berikutnya. Ulasan
tentang pentingnya membaca, berpikir dan menulis telah disadari sebelum jutaan
tulisan lahir ke muka bumi ini dengan berbagai jenis. Ini hanya bagian dari
rekonstruksi monumental tentang makna pengetahuan yang dapat berjalan ditengah
keterbatasan waktu dan ancaman kematian hidup manusia. Bagi saya “Menulis adalah satu-satunya kekekalan hidup
ide manusia”, semakin banyak membaca, maka ilmu dalam otak kita semakin
tersusun, saat kondisi pikiran kita semakin tersusun, jelas, tulisan kita akan ikut
tersusun sesuai dengan apa yang kita baca, kita pikirkan.
Bagi
seorang pengamat budaya seperti Prof. Dr. Kuntowijoyo sang penulis buku “
Masyarakat Agraris Madura” mengatakan bahwa kunci menulis ada tiga yakni Menulis, Menulis dan Menulis, saya
mengatakan berbeda, bagi saya kunci menulis harus berpatokan kepada apa yang
kita baca, jika tidak pernah membaca, jangan harap bisa menulis, sebab membaca
akan mempengaruhi dan mengantarkan apa yang kita pikir dan tuliskan, sehingga
apa yang ada dalam pikiran ini yang kemudian menjadi lokomotif tentang apa yang
akan kita tuliskan. Menjadi seorang pembaca tidaklah menjadi perpusatakaan yang
setiap buku bacaan kita ikuti arahnya, namun kita menghadirkan kritik dalam
proses membaca sehingga tidak hanya menjadi generasi pengutip, melainkan
menjadi generasi pemikir dan penulis yang kreatif dan memiliki ide yang khas. “Membaca, Berpikir, lalu menuliskannya ”
BIOGRAFI SEPINTAS
Nama
: Ongki Arista Ujang Arisandi
Alamat
: Gili Raje-Sumenep
Tetala
: 24 Juli 1994
No.
Tlp : 081 939 438 662 / 085 334 884 177
Facebook
: Ongky Arista Ujang Arisandi
Komentar
Posting Komentar