KITAB KUNING SEBAGAI IDENTITAS SANTRI
DALAM SUBLIMASI PROFETIK
Oleh : Ongki Arista U.A
“Melepaskan satu kekangan ghaib dalam diri menuju bhakti pena“
Ilmu pengetahuan yang dibentangkan Allah SWT di muka bumi ini menuntut manusia memikirkannya, tanda-tanda keagungan Tuhan baik sebagai satu kekuasaan Tuhan Perkasa bagi DzatNya maupun satu pengetahuan yang butuh direnungkan bagi manusia sebagai makhluk berakal dan mampu berbudi pekerti telah banyak diterjemahkan menjadi suatu realitas tentang nilai-nilai berupa tuntunan hidup manusia untuk berpengetahuan dari Imam Syafi’e hingga Francis Bacon[1]. Suatu realitas dapat menjadi kajian dan suatu peradaban karena ada manusia didalamnya yang bergerak menciptakan keseimbangan dan perkembangan berupa konstruksi ide umum tentang agama, pendidikan, ekonomi, sains, kebudayaan yang semuanya merupakan bagian dari pengetahuan lingkup kemanusiaan yang lahir diatas runtuhnya kemurahan Tuhan bagi manusia, hingga ilmu yang datang dari Tuhan sampai saat ini tidak pernah habis dihisab oleh para pecandu ilmu tentang kemanusian secara umum.
Saat di barat “Knowledge is power” di proklamirkan oleh Francis Bacon dalam bukunya yang terkenal “The Advancement of Learning, Novum Organum Scientiarum.”, para ahli ilmu pengetahuan alam maupun sosial mulai menyuarakan hal yang sama dengan ungkapan Bacon bahwa Ilmu pengetahuan adalah sebuah kekuatan. Sedangkan di timur Imam Syafi’e menyerukan bahwa ilmu adalah cahaya[2] bagi kehidupan manusia. Di luar premis tersebut, saat pesantren menjadi wadah untuk memperoleh pengetahuan, maka jelas apabila pesantren adalah suatu kekuatan dan cahaya serta menjadi objek yang tepat untuk dituliskan sebagai bentangan tanpa titik dalam pengkajian ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai lokomotifnya.
Menyebut pondok pesantren, prihal menyebut suatu tempat yang begitu menyejukkan setara mungkin menyebutnya sebagai syurga di dunia ini, meski syurga akhirat belum pernah dirasakan, namun ketika keindahan syurga di umbar melalui tuntunan Al-Qur’an dan Hadits maka disitulah syurga dunia dibentangkan menjadi sebuah jalan untuk memahami dan mencicipi syurga, tentu, hanya pondok pesantren yang secara inten melakukan ritual konservasi Qur’ani berupa pengkajian-pengkajian ilmu terkait Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar syurgawi secara eskatologis. Pengkajian-pengkajian Al-Qur’an dan Hadits yang berbahasa arab tidak semudah memetik sebuah gitar untuk dipahami, membacanya saja membutuhkan ilmu Tajwid, apalagi memahami isi dengan mendalam, tentu perlu ilmu pula yang dapat membantu menjembatani proses pengkajian Al-Qur’an dan Hadits, maka kitab kuning sebagai suatu khazanah pesantren perlu disebut terlebih dahulu sebelum semuanya dimulai.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan para pakar antropologi sosial menyepakati bahwa pondok pesantren satu-satunya hanya ada di Indonesia sebagai kebudayaan asli umat Islam Indonesia[3]. Patut kiranya bagi mereka yang menyandang predikat santri merasa bangga dan perlu melestarikannya, sebab pesantren dimana para santri berada dan menjadi titisan didalamnya merupakan tempat yang dipandang sangat mulia dari semenjak awal berdirinya hingga perkembangannya saat ini, tentu ini bukan sebuah mitos kuno yang menjebak manusia-manusia harus menyukai pesantren, tetapi karena peran pesantren untuk umat Islam di Indonesia sangat besar dan tidak dapat dihitung dari semenjak Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) hingga saat ini.
Membahas pesantren, tidak akan pernah lepas dari pembahasan tentang kitab kuning (Sebagian ada yang menyebutnya Kitab Gundul). Adanya kitab kuning mendorong satu konservasi penting yang tidak pernah dapat dimanipulasi atau diplagiasi, sebab eksistensi kitab kuning yang menyatu dengan eksistensi pesantren membutuhkan kata kunci untuk dipahami. Proses untuk memahami kitab kuning ini yakni santri sebagai penghuni pesantren mampu memahami kitab kuning dengan berbagai ilmu alat yakni Nahwu dan sorrof sebagai kata kuncinya.
Proses pemahaman dan penguasaan kitab kuning menuju Al-Qur’an memberikan jastifikasi terhadap kedudukan pesantren yang begitu tinggi yakni betapa belajar dan memahami Al-Qur’an dan Hadits yang tidak mudah meyebabkan orang yang pandai di dalam hal tersebut disebut alim, tentu tidak pernah dibayangkan apabila ada Kiai di pesantren yang tidak paham mengenai seluk beluk kitab kuning. Tentunya, kitab kuning yang menjadi ilustrasi tradisionalis ini membantu pertahanan pesantren untuk tetap disebut sebuah pesantren. Dalam hal ini Azyumardi Azra pernah menyinggung bahwa predikat Kiai terlalu direduksi dan terbatas, sebab hanya predikat Kiai hanya untuk ia yang paham kitab kuning, sedangkan bagi ia yang memiliki wawasan modern dan sains tidak akan disebut Kiai kalau tidak menngetahui cara memahami kitab kuning yang menjadi pintu pembuka memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Prihal semacam ini cukup menjelaskan, betapa pesantren menyimpan satu khazanah penting bagaimana santri menjadi titisan dan ide tentang konservasi keislaman melalui kitab kuning yang kemudian mengantarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Jika kajian kitab kuning tidak ada di sebuah pesantren, maka sendirinya pesantren tersebut akan menghapus identitasnya sendiri sebagai sebuah pesantren. Sebab saat ini, hanya satu hal pokok yang dapat membedakan – ini dalam hal kapasitas kajian dan sumber pengetahuan - siswa dan santri yaitu pengetahuaannya tentang kitab kuning
Masyarakat secara umum menganggap bahwa santri lebih dekat pada Tuhan dari pada siswa luar pesantren meski keduanya sama menuntut ilmu pengetahuan, lebih paham agama daripada mereka yang diluar pesantren. Tentu ini bukan hanya sebatas anggapan saja, bukan asap tanpa api, tetapi semua berangkat dari fakta yang ada bahwa santri di sebuah pesantren memang lebih dicekoki prihal nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral dan nilai-nilai pendidikan yang serangkaian nilai tersebut termanifestasi dalam karya kitab kuning yang dikarang oleh ilmuan Islam berupa ilmu fiqh, aqidah, akhlaq, tasawwauf, ilmu alat, tafsir, hadits, ulumul Qur’an.
Saat pesantren mulai memasuki babak baru yakni berupa dunia digital dan teknologi, yang semuanya terkaver dalam modernisasi telah menyebabkan kategori kontras dan dekotomis yakni anggapan bahwa scince lebih dekat pada dunia barat yang berbahasa inggris, sedangkan ilmu agama Islam lebih dekat pada dunia timur dengan bahasa arab. Hal semacam ini, tanpa saya simpulkan telah dapat dipahami bahwa keberadaan kitab kuning yang berbahasa arab di sebuah pesantren memang lebih mengantarkan peserta didik/santri pada pemahaman atau keilmuan bidang agama Islam. Namun saat semua menuntut suatu persamaan antara eksistensi Agama Islam dan science dalam modernisasi kali ini, maka kitab kuning mulia memudarkan cahayanya dan dikesampingkan dalam menyinari sebuah diri manusia pesantren sebab semua disebabkan efek dominasi modern dan dunia barat melalui teknologi bahkan telah merenggut nyawa dan kesadaran santri akan pentingnya kitab kuning sebagai lokomotif keislaman pesantren dalam upaya konservasi keotentikannya[4].
Al-Qur’an dan Hadits tetap terjaga bukan hanya semata-mata karena Kalam Ilahi terjaga oleh yang Maha Ghaib dan Hadits terjaga kemuliaanya karena manusia menghafalkannya, tetapi diluar itu, Al-Qur’an dan Hadits tidak mudah dipahami dan tidak berbahasa yang longgar, sehingga dunia barat perlu mengambil langkah konfirmasi pada para ahli Al-Qur’an dan Hadits untuk memahaminya, sehingga teks-teks arab yang juga terdapat dalam kitab kuning tanpa harkat yang sulit pula dipahami ikut terjaga tanpa plagiasi bahkan masih orisinal dengan pengarangnya. Saat hal ini menjadi sebuah kajian implikatif, maka para ahli kitab akan menjadi kekuatan dan pertahanan satu-satunya dalam langkah-langkah perkembangan Islam pesantren.
Kitab kuning adalah kekayaan pesantren yang tiada duanya dan menjadi identitas satu-satunya, tentu hanya mereka yang ada dipesantren yang memiliki kesempatan mempelajari cara memahami kitab kuning tersebut. Disamping itu, kitab kuning yang berbahasa arab yang dikaji oleh sebuah pesantren tentu merupakan kitab-kitab yang telah dipilih oleh pengelola pendidikan Islam pesantren yang disetujui oleh pengasuhnya, sebab masih banyak kitab-kitab kuning lainnya yang tidak dikaji oleh beberapa pesantren tetapi dikaji oleh pesantren lainnya, tentu atmosfer pesantren yang dimotori oleh para Kiai akan menyebabkan perbedaan kitab-kitab yang dikaji di sebuah pesantren yang pada akhirnya akan melahirkan ciri dan identitas berbeda antara pesantren satu dengan yang lainnya.
Lebih sempit lagi, membahas pesantren tidak akan terlepas dari keberadaan Kiai sebagai pemilik dan pengasuh pondok pesantren, para santri, pondok atau asrama santri, masjid, kegiatan mengaji Al-Qur’an maupun kitab kuning[5]. Saat hubungan antara Kiai, santri dan kitab kuning mulai dimaksimalkan, maka pesantren akan berjalan profetik dan prihal semacam ini akan membantu minat santri untuk kembali untuk memahami kitab kuning sebagai subjek utama dalam pesantren, sebab masalah yang terjadi detik-detik ini, kompetensi santri terhadap kitab kuning mulai menurun, tentu ini disebabkan oleh persoalan minat dan kesadaran santri akan pentingnya memahami kitab kuning dalam upaya pelestarian tradisi pesantren dan jauh lebih dari itu adalah proses pemupukan nilai keislaman berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits yang memang menjadi lokus utama agama Islam dan pengetahuan semesta. Semua artikulasi ini tentu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang mengalir di beberapa kitab kuning. Santri yang menjadi fokus gerak suatu pesantren perlu mengulang kembali kajian-kajian profetik yang tertuang dalam kitab kuning, sebab memahami kitab kuning secara substantif membawa satu identitas santri dan pesantren sendiri.
[1] Francis Bacon adalah seorang filsuf dan penulis yang lahir di London, Inggris 1561-1626 M. Karya Bacon ini yang paling popular ialah tulisannya yang menyangkut ilmu pengetahuan, dengan tiga bagian pokok yakni ; pertama untuk meninjau kembali ilmu pengetahuan manusia, kedua, menginovasi system baru ilmu pengetahuan, ketiga, penyelidikan ilmu pengetahuan harus diiringi data empiris.
[2] Nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina 767-820 M. Selain dikenal sebagai salah satu Imam Madzhab, Imam Syafi’i juga dikenal sebagai ilmuan Islam yang tidak pernah puas mencari ilmu pengetahuan, ungkapannya yang juga terkenal “Apabila pembesar dari suatu kaum tidak berilmu, maka kaum tersebut akan terlihat kecil meski dengan jumlah banya dan akan menjadi besar apabila pembesarnya berilmu meski kaumnya sedikti”.
[3] Abdurrahman Shaleh dkk, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta, binbaga Islam, Depag RI, 1982) hlm, 6.
[4]Sebagian tokoh Tasawwuf mengatakan Modern mengandung azab bagi semesta. Dilain hal, para pemikir dan cendikiawan Islam tidak senada negatif dengan tokoh Tasawwuf, melainkan mereka mengambil langkah tengah yakni dengan menfilternya dan mengontrolnya agar moderniasasi tidak mengubah psike dan jiwa manusia jauh dari agama Islam. Dalam hal ini Jacques Martin dalam bukunya “When Chinese Rules The World” mengatakan bahwa modernisasi sebagai kehidupan baru yang membahayakan.
[5] K.H. Musthofa Bisri menyebut kiai sebagai pemilik sebuah pesantren, sebab perkembangan pesantren mutlak berada ditangan para sesepuh atau kiai pesantren. Ungkapan ini terdapat di dalam pengantar beliu dalam buku “Pesantren, Nalar dan Tradisi ” yang ditulis oleh Baddrut Tamam.
Komentar
Posting Komentar