GERAKAN PEMUDA GILI RAJE
(Kompolan Taretan Gili Raje)
Ongki Arista. U.A
( Sebuah Diskusi Dialektis Gerakan Pemuda, Masyarakat dan Mahasiswa Gili raje )
Dari mana diskusi ini akan dimulai ? ada yang mampu memulai ide diskusi dari tema yang saya tulis diatas? ada yang mau membacanya ? ada yang mau mengatakan gampang mendiskusikan kajian berkerangka tematik? ada yang hendak berbagi ide tentang tema "Gelora Gerakan" ?. Ada yang paham nilai-nilai yang terkandung dalam tema ini? ada yang tau, kemana arah dari diskusi ini? ada yang tau, apa yang akan saya bahas terkait tema diatas ? ada yang mau mengatakan diskusi pikiran ini tak berguna?
Sepertinya tak ada yang berminat berpikir dan bertanya, apa pentingnya banyak bicara dan menulis tentang Gerakan di Pulau Mati ( Gili raje ). Sepertinya juga tak ada yang suka berpikir lebih mendalam dari sekedar kerangka formal gerakan. Sepertinya tak ada yang serius berpikir tentang sebuah tatanan kehidupan dari sebuah gerakan kemanusiaan di Gili raje. Sepertinya tak akan pernah berkembang adanya sebuah gerakan apabila tak menghasilkan uang dan materi lainnya. Sepertinya tak ada yang bersedia konsisten untuk sungguh-sungguh mendalami apa itu gerakan pembelaan dan gerakan kebangkitan pulau Gili raje ini.
Sepertinya tak ada yang benar-benar konsisten mengkaji masalah pulau Gili raje ini. Gerakan-gerakan muncul dari berbagai desa, bahkan puluhan organisasi berbasis ke masyarakatan dan kepemudaan muncul bagai rerumputan. Gerakan dan perkumpulan yang tumbuh subur di pulau Gili raje yang secara geografis sangat kecil dan berpenduduk sedikit menyebabkan pengamat seperti saya ingin menuangkan satu kerangka pikir organisasi ;
"Jika wadah yang kecil menciptakan banyak tumbuh berkembangnya organisasi, itu tandanya tanah Gili raje cukup subur "
Jika satu desa, misalkan, terdapat 5 atau 6 gerakan dari sebuah kelompok atau organisasi ( Baik LSM, Forum, Aliansi, Ikatan, Dialog, ) maka hal itu menunjukkan betapa keadaan di desa tersebut cukup subur dengan gagasan. Namun, apabila gerakan itu tidak dapat disatukan, maka, kesuburan itu hanya ilusi, kepalsuan, kebohongan. Sebab gagasan itu seharusnya dapat disatukan, apabila terdapat banyak ide atau gagasan yang tak dapat disatukan, maka hakikatnya, itu sebuah wujud dari krisis gagasan. Sama saja, adanya 5 dan 6 gerakan di satu desa itu merepresentasikan "Krisis Asosiatif". Maka bukan kritis, tapi krisis.
Populasi masyarakat yang berstatus Santri, siswa, mahasiswa, kritikus, politikus, cendikiawan, wartawan, dosen, penulis, LSM, staff, guru, Kiai, pengusaha, petani, peternak, budayawan tidak dapat dimunafikan. Masyarakat Gili raje adalah masyarakat progressif, masyarakat yang peduli kemajuan. Namun, masyarakat progressif di Gili raje terkadang tak terarah pada upaya perbaikan SDM yang berkualitas mengelola SDA. Masyarakat progresif yang tidak terarah pada Quality akan merusak stabilitas lingkungan Gili raje.
Masyarakat Gili raje semakin progresif. Salah satu progresifitasnya adalah dibidang harta benda, banyak yang berangkat ke jakarta, banten, bali, bandung, malaysia, kalimantan, Yogyakarta dan arab saudi. Maraknya progresifitas dibidang harta benda menyebabkan gerakan-gerakan massif perniagaan, salah satunya maraknya pembelian toko "Jakarta-banten". Saat toko ( perniagaan ) semakin banyak, maka akan semakin banyak pula karyawan yang dibutuhkan. Karena semakin banyak karyawan yang dibutuhkan, maka angka pernikahan dibawah usia produktif semakin banyak, angka putus sekolah semakin banyak karena ingin menjadi karyawan (penjaga) toko " Jakarta-Banten" dari Gili raje. Pulang dari "Jakarta-banten" membangun rumah, bawa sepeda motor dan harta benda lainnya. Moment perniagaan adalah moment yang bertepatan dengan puncak kapitalisme Indonesia. Maka cukup jelas pula, tidak adalah lahan kritis sama sekali, yang ada, kita krisis sumber daya manusia pada progresifitas bidang harta benda.
Penetrasi progresifitas dibidang harta benda kemudian menggeser paradigma masyarakat secara perlahan mengenai arti penting sebuah pendidikan. Banyak orang tua yang mulai ragu-ragu menyekolahkan anaknya, mulai ragu melanjutkan studi perguruan tinggi anaknya, sebab bagi mereka ( masyarakat Gili raje ), tidak ada arti yang penting atas pendidikan kecuali dapat harta benda. Jadi, sudah banyak yang beranggapan, jika selesai kuliah s1 tak dapat menghasilkan harta benda ( kategori sukses bagi sebagian masyarakat Gili raje ) maka lebih baik berangkat bekerja ke " Jakarta-banten". Sungguh, ini adalah paradigma kapitalistik, formasi pendidikan akan hancur berantakan. Mungkin pendidikan wajib, suatu saat akan hanya dicukupkan sampai MTS dan SMA. "Yang penting paham mata uang, langsung berangkat kerja ".
Lalu bagaimana Gelora Gerakan penyelamatan pulau Gili raje - yang krisis - dari Degradasi moral, pendidikan, ekonomi, budaya, adat-istiadat, agama saat ilmu (pendidikan) mulai tak diperhatikan karena disorientasi, salah paradigma. Lalu bagaimana kita melindungi masyarakat yang tertindas dilibas para mafia desa?. Lalu siapa dan apa yang dapat kita pertahankan di Gili raje, jika kita tak paham sedikit ilmu saja?. Satu hal yang saya takuti yakni apabila masyarakat secara umum berkata TIDAK , maka tak kan ada yang mampu mengIYAkan. Jika mindset sudah berubah menjadi mainstrem maka pada saat itu pula, peradaban agung ( Cita-cita leluhur ) akan porak poranda menjadi peradaban keumuman, peradaban kebanyakan, peradaban mayoritas.
Secara frontal, paradaban kebanyakan akan memposisikan diri menjadi raja. Kaum minoritas ( oposisi biner ) akan berada dibawahnya, bahkan paling bawah dan rendah ( Proletriat ). Apabila peradaban kebanyakan bersuara bahwa progresifitas harta benda lebih penting dari pada pendidikan, maka siap-siap, orang yang berpendidikan akan menjadi prajurit dari raja-raja yang tidak berpendidikan. Maka upaya perbaikan SDM akan menjadi mimpi saja. Ide dan gagasan kritis makin tumpul saat berhadapan dengan hartawan. Patut kiranya, jika ada sosok intelektual dapat dibayar dengan uang, kita dapat berkata, itu porak poranda dari output dan struktur pendidikan. Itu krisis namanya.
Lalu dimana posisi Gelora gerakan penyelamatan Gili raje dari degradasi hukum dan mafia hukum? desa dan mafia desa? penegakan dan mafia penegakan?. Pada poin inilah, sejatinya kita perlu berasosiasi, duduk bersama memperbincngkan nasib pulau kita untuk masa depan generasi kita. Ini satu kajian transgenerasi, yang dimaksudkan " Berkumpul hari ini, untuk menciptakan kemakmuran bagi para generasi ". Apabila hari ini kita tak berbuat apa-apa untuk besok, maka kita termasuk orang yang tak peduli terhadap generasi selanjutnya. Duduk bersama adalah langkah awal manyatukan persepsi, menyatukan gerakan, menyatukan tujuan dan perbaikan. Kita punya prinsip kesejahteraan. Tidak cukup untuk menjadi penikmat meski kita sudah sukses hidup sejahtera sekeluarga, tapi kita punya mata untuk memandang dan punya pikiran untuk memikirkan nasib mereka yang lain. Perlu kiranya, kita berdialog, mendialogkan gagasan dan ide perbaikan, sebelum ide kritis berubah krisis ide.
Kita tidak bisa berangkat satu persatu, lalu menghadap mafia, mau melawannya. Kita tidak bisa berangkat satu persatu untuk membangun Gili raje yang begitu luas, Tapi kita bisa berangkat bersama untuk membangun Gili raje yang begitu sempit. Kita masih punya cita-cita ; Listrik hidup, infrastruktur direnovasi, sekolah lebih maju, pelabuhan dan transportasi laut berkualitas, tempat mengaji tetap terjaga, tidak ada konflik antar desa, SDA dikelola dengan baik, SDM berkualitas, Pola pikir masyarakat semakin baik, Keagamaan tetap terjaga, Budaya tak tergerus zaman. Bagaimana caranya? Kita harus berkumpul berdiskusi, mencatat gagasannya, merangkai langkah dan teknisnya, lalu bergerak menjalankan hasil musyawarahnya.
Teruntuk Gili raje dan Indonesia!
Komentar
Posting Komentar