Foto Selfie, Dulu dan Sekarang

                        SELFIE dan TEMPAT WISATA
                                 Ongki Arista. U.A

Apa hubungan keduanya? Selfie dan Tempat Wisata? . Saat aku masih SMP, di Desaku, Kalau mau foto (gak ada istilah selfie; menfoto diri sendiri dengan kamera depan) harus mencari suatu tempat yang memiliki panorama yang indah. Akibatnya, jarang sekali orang-orang berfoto ria disembarang tempat, hanya ditempat wisata lah, orang-orang di Desaku berfoto, entah di wisata alam, budaya, sejarah, atau wisata religi. Pendeknya, Dulu, masyarakat Desaku hanya berfoto di tempat pariwisata. Artinya, orang-orang terdahulu lebih mengedepankan keindahan tempat. ( Dilihat dari sekarang, menceritakan masa dulu )

Nah, sekarang ( jika dibandingkan dengan zaman dulu ), orang berfoto tidak pandang tempat wisata, tidak pandang siapa-siapa, Kebanyakan mereka telah belajar memfoto diri sendiri ( selfie ) dan ditambah disembarang tempat. Nah, secara mendasar, dapat dilihat, bahwa saat orang-orang berfoto ria disembarang tempat bermakna bahwa foto dirinya lebih berarti dari sebuah pemandangan tempat dan ini berbeda dengan pola terdahulu. Sehingga cukup jelas terlihat, tempat wisata dalam arti pola terdahulu bercampur aduk dengan pola saat ini. Semua tempat saat ini menjadi tempat wisata berselfie ( Foto di tempat wisata ). Maka pertanyaan selanjutnya, mana sebetulnya yang lebih menarik, antara selfie dan tempat wisata ( background foto ) ?. dan apa yang lebih dahulu dipandang , antara foto dan background?.

Setiap orang, (seakan) saat ini ingin menjadikan setiap tempat sebagai wisata, indikatornya adalah mereka ingin berselfie atau berfoto disetiap tempat pada setiap kesempatan. Pertanyaan selanjutnya, wisata itu apa sich? jangan-jangan wisata yang sebenarnya adalah wajah kita masing-masing dan wisata itu bukan tempat yang menjadi background foto kita. Lalu bagaimana jika demikian?

Tulisan ini hanya ingin membuka setiap kutipan masa lalu dan sekarang untuk dimuat dalam satu pemahaman bahwa sampai kapanpun, berfoto itu tetap sama, hanya sekedar identitas yang tidak lebih dari sekedar dokumen diri saja. Bahkan, orang-orang terdahulu ingin berfoto hanya untuk ditaruh di dompet atau dikasih pada sang kekasih ( orang-orang kecil ). Bisa dibayangkan, kalau setiap foto kita, di era modern ini, yang kadang setiap hari sampai puluhan foto dihasilkan lalu ditaruh di dompet, atau dikasih pada kekasih, atau ditaruh di dinding rumah kita, mungkin dompet kita akan penuh dengan foto, rumah kita akan berdinding foto, kekasih kita akan dapat kiriman foto setiap saat. Kalau dijadikam buku, mungkin tebalnya akan mengalahkan desertasi Prof. Kuntowijoyo.

Mari kita kembalikan makna dan paradigma foto dan berfoto, agar tak hanya bernilai sensasi, tetapi juga mampu bernilai edukasi. Tulisan ini tak bermaksud menghalangi setiap insan yang doyan berfoto, sekali lagi Tidak, Tidak menghalangi siapapun. Tulisan ini bermaksud untuk memadukan satu perbedaan paradigma terdahulu dan sekarang agar tercipta satu paradigma hakiki bahwa Foto itu tidak lebih dari sebatas dan terbatas sebagai Identitas diri. Sebanyak apapun foto itu, tetaplah Identitas yang berupa dokumen, sebagus apapun, itu tetaplah Identitas, tidak akan merubah keadaan apapun. Tidak akan kaya karena kuantitas atau kualitas foto, dan tidak akan jadi tukang ojek karena foto bersama tukang ojek.

Semoga bermanfaat!

Komentar