Resensi Buku, Nalar dan Tradisi Pesantrean


JUDUL


PESANTREN, NALAR DAN TRADISI

GELIAT SANTRI MENGHADAPI ISIS, TERORISME DAN TRANSNASIONALISME ISLAM – Geliat Santri Menghadapi ISIS, Terorisme dan Transnasionalisme Islam


Pengarang : BADDRUT TAMAM


Penerbit : PUSTAKA PELAJAR.


Tahun Terbit : JULI 2015


Cetakan : PERTAMA.


Tebal Buku : 154 HALAMAN.


Harga Rp. 35.000,-

Barangkali tidak asing di Indonesia, jika kita menyebut sebuah pesantren dan santri setelah diresmikannya hari santri pertama digelar pada 22 oktober 2015 kemarin. Ini sebuah lagu gembira yang memuat konsiderasi Negara akan eksistensi pesantren yang memang adanya pesantren tersebut menjadi basis tradisi pendidikan Islam yang hanya ada di Indonesia. Pesantren menjadi landasan konservasi yang tidak pernah kering untuk dikaji, buku-buku tentang pesantren telah banyak mewarnai peradaban pikir dalam sebuah tradisi keilmuan dari sejak masuknya Islam ke bumi Nusantara hingga saat ini, baik buku yang dikarang para doktor lulusan dalam maupun luar Negeri. Fakta ini menunjukkan betapa eksistensi pesantren di Indonesia mampu melegalisasikan dirinya secara independen yakni sebagai salah satu tempat belajar agama Islam dan keilmuan lainnya yang khas dan menjadi khazanah Islam di Indonesia.

Lebih jauh, dinyatakan dalam buku Pesantren, Nalar dan Tradisi yang ditulis oleh Baddrut Tama ini, bahwa pesantren memiliki andil dan dominasi besar dalam melestarikan tradisi agama Islam. Ini dimulai sejak masa Syekh Maulana MalikIbrahim (Sunan Gresik) yang kemudian dilanjutkan oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) yang menjadi spiritual father of Walisongo hingga kemudian pesantren mampu berperan penting yakni sebagai pusat pendidikan Islam pertama di Pulau Jawa, tentu cukup dibenarkan apabila para pakar antropologi sosial menyebut pesantren sebagai kebudayaan asli yang dimiliki oleh masyarakat muslim Indonesia. Selain hal tersebut, kajian-kajian kritis dalam pesantren juga disajikan dalam buku ini yang juga merupakan catatan si Penulis sejak menjadi santri di sebuah Pondok pesantren.

Periodisasi pesantren di Negeri ini telah menciptakan berbagai macam perubahan, perkembangan serta penyesuaian terhadap tuntutan zaman. Salah satu contohnya ialah kombinasi sistem pendidikan yang berasal dari perpaduan konsep pendidikan Madrasah ala Arab dengan pendidikan umum Eropa ala konial Belanda sekitar abad ke-19 Masehi yang menyebabkan perubahan citra pesantren secara perlahan melepaskan tradisi-tradisi dalam pengajaran pendidikan Islam.

Pesantren pada dasarnya merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang mampu mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan oleh para ulama dari masa ke masa. Proses pewarisan tradisi Islam yang berlangsung di sebuah pesantren tidak akan terlepas dari persoalan bagaimana kedudukan dan keilmuan yang dimiliki oleh seorang kiai atau pemimpin pesantren yang menjadi figur absolute di sebuah pesantren, meski terkadang pengkultusan berlebihan terhadap seorang kiai terjadi di sebagian pesantren menjadi hambatan nalar dan tradisi pesantren untuk lebih progressif. Hal ini kemudian menjadi penting dibicarakan sebagaimana penulis dengan sangat kritis menyajikan arus pikir dan sirkulasi logis antara nalar dan tradisi pesantren dalam menciptakan pemahaman, paradigma rinci sehingga membentuk peradaban sebuah pesantren yang ideal progresif.

Modernitas mulai memasuki ruang pembahasan perkembangan sebuah pesantren sehingga menciptakan pembagian jenis pesantren yakni classic dan modern  atau lebih dikenal salaf dan modern. Dua jenis pesantren ini terkadang menciptakan problem dilematis (dualisme) yang penuh tantangan yakni bagaiamana konsep keterpaduan antara pemeliharaan nilai-nilai keislaman di satu sisi dan tuntutan dunia modern di sisi lain. Problematika ini menuntut pesantren untuk berbenah diri lalu mengokohkan keterpaduan, keseimbangan, menjaga dan menyesuaikan nilai-nilai ditengah sistem global. Saat kondisi ini menerpa pesantren yang belum siap berbenah diri maka efektifitas pesantren dan kualitas santri menjadi taruhan, semisal menurunnya pemahaman keagamaan santri di sebuah pesantren tersebut.

Di dalam buku ini juga dibahas bagaiamana kedudukan pesantren dalam pusara globalisasi yang mematikan. Pesantren yang menjadi satu-satunya lembaga pertahanan pengetahuan agama Islam yang lengkap mencakup segala sisi kehidupan manusia, seharusnya lebih membuka pintu profetik akan pagelaran neoliberalis dan imperialisme yang datang mengendap dibalik munculnya tatanan politik global, kesepakatan Internasional, komunikasi global, geo-ekonomi, hukum kosmopolitan. Pesantren harus mampu menghadapi derap laju globalisasi yang didalamnya bersimpuh gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak ekstrem. Upaya revitalisasi tradisi-tradisi keislaman yang selama ini telah dikembangkan di pesantren harus tetap dilestarikan dengan laku konservasi prinsip Islam yang Rahmatan Liil Alamin. Santri sebagai baku pijak sebuah pesantren harus memiliki kemampuan berpikir dinamis yang dapat melabuhkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pesantren.

Pesantren bukanlah museum purba tempat benda-benda unik dan kuno disimpan serta dilestarikan, bukan pula penjara dimana para santri dikekang dengan berbagai macam peraturan, tetapi pesantren adalah semacam ruang seperti laboratorium, dimana santri dituntut berpikir tentang sumber-sumber ajaran Islam dan ilmu pengetahuan  atau integrasi sains dan agama Islam serta mengkaji sejauh mungkin tentang dasar-dasar pemahaman dinamis yang terjadi dilingkungan global dan konstelasinya dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mencerahkan laku perubahan lebih baik menuju masa depan Islam pesantren di Indonesia, pendeknya, pesantren yang menjadi lokomotif perkembangan Islam Indonesia perlu berupaya memfilter gesekan baru, berupa kebudayaan dan perkembangan yang berlangsung di era globalisasi saat ini.

Pesatnya pertumbuhan pesantren hingga ke pelosok-pelosok desa bisa dikatakan bahwa ini pertumbuhan kuantitas yang mengindikasikan laku maju pesantren. Namun, dalam pembahasan kualitas tidaklah demikian. Bahkan kalau mau dihitung-hitung dari sisi mutu anak didik (Santri) yang dihasilkan oleh pesantren saat ini, terutama ditingkat pengetahuan ilmu agama, bisa dikatakan banyak mengalami kemerosotan dan penurunan kualitas. Cukup mengherankan apabila laku kuantitas tidak menjamin kualitas santri di sebuah pesantren.

Berdirinya sebuah pesantren yang kemudian membentuk tradisi pesantren tidak lain sebagai sistem pendidikan tradisional Islam terbesar di Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari kesadaran awal para pendirinya yakni persoalan kealiman seorang kiai sebagai pendiri dalam membumikan Islam di Negeri ini serta memberdayakan potensi umat Islam melalui media pendidikan yang independen. Apabila kualitas Kiai sebagai pendiri tidak memadai, maka akan mempengaruhi kepekaan dan keilmuan santrinya sehingga semakin merosotnya kualitas santri akan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan ini, lebih jauh lagi akan berdampak kepada menipisnya fungsi sebuah pesantren sebagai lokomotif keagamaan dan pendidikan Islam yang telah disebutkan diawal, tentu ini akan melahirkan berbagai macam masalah bagi perjalanan pesantren di Indonesia pada masa yang akan datang. Demikianlah buku ini mengeksplorasi realitas pesantren dengan kritis oleh si Penulis.

Keberadaan pesantren di dunia modern seperti sekarang ini, justru semakin menguji coba eksistensi dan peran sebuah pesantren yakni bagaimana pesantren tetap memegang teguh tradisinya melalui pembentukan kesadaran individu (Keislaman, keimanan, Keikhlasan, tanggung jawab, prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan serta memupuk kesadaran spiritual). Modernitas yang membawa paradigma instan yang berkembang akhir-akhir ini menyelipkan visi pendidikan semakin kabur, peserta didik yang mulai mengidap penyakit diploma, kualitas peserta didik mulai mengendap, maka disinilah posisi pesantren harus bangkit dan menciptakan pencerahan.

Luasnya ulasan pembahasan yang terdapat dalam buku ini sejatinya tidak dapat disimpulkan atau dipersempit dengan ulasan resensi ini, sebab banyak sekali bab-bab dan rincian dari pembahasan yang tidak disampaikan dalam tulisan ini. Banyak hal semisal Penyajian dikotomi realistis antara nalar dan tradisi, dekonstruksi kritis, analisa doktrin pesantren menuju pembebasan umat Islam, dialektika pesantren, pesantren sebagai pelestari tradisi, reformasi interpretasi dalam memahami  agama, kritik pesantren, akal dan pengetahuan pesantren, analisa abstrak terkait nilai, fiqih pesantren, mistik dan magic pesantren, epistimologi dalam pesantren, transionalsme dan fundamentalisme serta ekstrimisme Islam, semuanya dibahas dalam buku Pesantren, Nalar dan Tradisi (Geliat Santri Menghadapi ISIS, Terorisme dan Transnasionalisme)

Buku Pesantren, Nalar Dan Tradisi (Geliat Santri Menghadapi ISIS, Terorisme dan Transnasionalisme) ini menyajikan ide argumentatif, kritis dan mengilustrasikan seni berpikir kausal. Sistematika penulisan dan pengulasan ide yang beruntun dapat dinikmati dalam buku ini. Buku ini lebih menggairahkan ketika pengantar buku ini ditulis oleh K.H A Mustofa Bisri. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dari buku ini adalah analisa penulis yang kritis dalam memberikan argumentasi, bagaimana kondisi pesantren dalam membentengi diri baik dari hambatan internal (doktrin dan pengkultusan) dan eksternal berupa goncangan globalisasi. Seri buku ini juga menyajikan analogi komparatif berupa perbandingan output pesantren di Indonesia dan Ma’hadul Islam di Yaman dan Hauzah di Iran.

Dalam buku ini juga memainkan landasan dan pola pikir kritis filosofis. Hal ini dapat dilihat di beberapa bab pertengahan dan bab terakhir. Ini dapat dilihat pula di bagian refrensi buku Pesantren, Nalar dan Tradisi (Geliat Santri Menghadapi ISI, Terorisme dan Transnasionalisme) Kelebihan yang lain berupa ; Kualitas kertas, cover, cetakan, design buku.

Meski dalam beberapa bab cukup beruntun dalam menyajikan analisa penulis dalam buku ini, juga ada sebagian sub-pembahasan yang memerlukan finalitas pembahasan sehingga menciptakan konklusi afirmatif.

Pembaca perlu membaca banyak hal sebelum membaca buku ini, artinya sebelum membaca buku ini, pembaca perlu memahami banyak hal terkait pesantren, globalisasi, teori sosial, humaniora, bahkan jauh dari itu pembaca harus memahami dialektika Islam sebagai agama yang lengkap secara universal serta menjadi pembebas keterpurukan dan penindasan tatanan hidup manusia.

Buku ini terlalu singkat dalam membahas bagian-bagiannya, menyisakan banyak pertanyaan dan ruang yang perlu diisi oleh pembaca. Sebab dalam buku ini sejatinya mengajak pembaca berkontemplasi panjang mengenai konstelasi pesantren dan goncangannya, termasuk bagaimana pesantren menyikapi Islam fundamentalis seperti terorisme ISIS.

Terdapat banyak kesalahan ketik baik berupa kurangnya abjad dalam kosa kata, strip, cetak miring, serta kelebihan abjad pada kosa kata serta penggunaan kosa kata baku dan tidak baku juga terdapat dalam buku ini meski hanya sebagian kecil saja.

Geliat Santri Menghadapi ISIS,Terorisme dan Transnasionalisme yang menjadi salah satu isi penting buku ini, yang terdapat di bagian depan cover buku seharusnya dibahas panjang lebar justru hanya sedikit dibahas dalam buku ini, sehingga mengkaburkan pandangan umum pembaca tentang isi buku ini.

Pertama, Formulasi dari kerangka buku ini dimulai dengan kontruski kritis deskriptif yakni dengan  memberikan ide pokok tentang sebuah nalar, tradisi pesantren secara deskriptif dengan menyajikan dialektika kritis antara pesantren dengan realitas, baik itu direfleksikan dari perjalanan pesantren sebagai prototype penyebaran agama Islam Indonesia hingga pesantren menjadi lembaga pendidikan integral antara kajian Islam dan  ilmu pengetahuan umum.

Kedua, ulasan argumentatif yakni memberikan argumentasi tentang dialeketika dan dinamika pendidikan Islam pesantren dan bagaimana proses komprominya dengan kurikulum pendidikan secara kombinatif baik efek kombinasi yang bersifat positif maupun negatif dalam pelestarian system pendidikan di pesantren.

Ketiga , dalam buku ini memberikan kajian analogi komparatif yakni menyajikan perumpamaan yang berkesusaian atau perumpamaan proposional berupa ulasan bagaimana kedudukan pesantren di Indonesia mencapai konstruksi ideal sebagaimana Ma’ahadul Islamiyah dan Hauzah yang digambarkan dalam buku ini.

Keempat, penulis buku ini memberikan banyak ruang kontemplatif. Pembaca diajak merenungkan beberapa formulasi pertanyaan, tentu pembaca semakin dibawa pada ruang penuh perenungan dan pemikiran mengenai pesantren dan lingkup pembahasan yang telah dibagi menjadi tujuh bagian dalam buku ini.

Dalam buku ini, bahasa yang digunakan oleh penulis mengilustrasikan gambar-gambar analisis dan animasi deskriptif. Ini menunjukkan bahwa penyampaian bahasa dalam buku ini dapat dikatakan sebagai bahasa analitis yakni mencoba memperluas pembahasan dan mengkaitkan beberapa fenomena terpadu dalam membentuk konstruksi ide dalam perjalanan pesantren dan tantangannya.

Seperti yang telah disampaikan diawal, bahwa buku ini membahas segala sub-pembahasannya dengan sangat kritis dan filosofis. Tentu ini akan mengarahkan jalan, yakni untuk siapa buku ini dibaca. Buku ini pantas dibaca oleh Pengelola pesantren karena didalamnya banyak ulasan tentang bentuk ideal pesantren, juga untuk Pendidik atau Ustadz disebuah pesantren, sebab didalamnya terdapat ungkapan mengenai perkembangan dan kedudukan santri di sebuah pesantren. Selain itu, mahasiswa, pemerhati pendidikan wajib membaca buku ini. Lebih jauh dari itu, orang tua yang sedang memodokkan anaknya disebuah pesantren juga butuh membaca buku ini sebagai bagian dari acuan ide dalam membentangkan kebebasan berpendidikan bagi anaknya di pondok pesantren. Meski bahasanya dalam beberapa sub-pembahasan tidak mudah dimengerti karena perlu banyak menyambungkan link dalam buku-buku yang lain, tetapi tidak salah apabila Santri senior disebuah pesantren membaca buku ini.




IDENTITAS PERESENSI

Nama : Ongki Arista Ujang Arisandi

Tetala : Sumenep, 24 Juli 1994.

Alumni : Pondok Pesantren NURUL ISLAM  Karangcempaka, Bluto-Sumenep.

Alamat : Desa Somalang, Dusun Barat Rt.01. Rw. 01

“Tidak ada guna kau membunuh seorang penulis, sebab idenya akan hidup ditengah kematiannya”

Komentar