DARI
REALITAS SOSIAL AGAMA ISLAM MENUJU ARTIKULASI NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Dari sekian banyak
definisi tentang Agama Islam, terkadang hanya beberapa yang dapat kita ingat
atau justru, kita pahami praksisnya saja secara sederhana tanpa mengetahui
definisinya. Saya tertarik untuk mendifinisikan suatu persoalan dialektis,
termasuk persoalan dialektika Agama. Dalam definisi sederhana ini, mengambil dari
suatu realitas yang direfleksikan menjadi suatu konsep definitif. Analisa
sederhana ini menngartikan Agama sebagai suatu ajaran yang diaktualisasikan
menjadi suatu rumpun keyakinan yang secara fundamental diyakini dapat mengangkat
martabat dan melepaskan belenggu kasta sosial dan penindasan dalam kehidupan di
muka bumi ini. Islam adalah nama terhadap ajaran (Agama) yang diturunkan oleh
Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Rasulnya Muhammad SAW untuk diajarkan
keapada umat manusia di muka bumi ini sebagai sebuah Rahmat. Berbicara mengenai Agama Islam, kita tidak
akan pernah lepas dari pembahasan Ketuhanan dan Kemanusiaan yang tertuang dalam
sumber ajaran pokok umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam arti ini
dimaksudkan bahwa Islam sebagai Agama manusia yang datang dari Tuhan memiliki
makna korelatif. Korelasi yang dimaksud adalah titik koordinat antara Tuhan dan
Manusia yang tertuang dalam kehidupan dan realitas sosio-humanis.
Dalam penjabaran ini
perlu kita pahami bahwa Agama Islam yang diyakini sebagai suatu ajaran yang
kemudian diyakini kebenarannya di sisi manusia harus dapat berinteraksi dengan
suatu kondisi kemanusiaan. Interaksi ini akan meghasilkan suatu respon dan proses
tarik menarik antara subjek (penerima)
dengan objek (yang diterima) sehingga
menghasilkan suatu radiasi alfa berupa tuntunan dan petunjuk Ilahi (Pemberi) dalam Al-Qur’an yang bersemayam
menjadi nilai-nilai individu menuju universalitas yang suci hingga mampu
menuntun, membimbing dan memberikan jalan terhadap pola dan tata cara
menghidupi kehidupan dimuka bumi ini. Dari suatu realitas Agama yang dijadikan
sebagai dasar-dasar kehidupan bagi manusia ini dapat melahirkan sistem nilai
berupa kesadaran individu menuju sosial yang akhirnya akan menciptakan rentetan
konsep kemanusiaan sebagai aksentuasi atau artikulasi terhadap kebenaran Agama yang
mulai berjalan menuju ruang sosio-humanis lebih konkrit dan kompleks.
Jika kita meninjau
posisi manusia dalam bahasa keagamaan, umat islam memiliki kedudukan sebagai
pemeluk atau pekerja yang bekerja melaksanakan suatu tuntunan keagamaan yang
tertuang dalam ayat-ayat suci. Agama dalam posisi ini dimaknai sebagai aturan
berupa petunjuk yang memanifestasikan suatu arah dan jalan yang dapat dilalui
sehingga manusia dapat mencapai suatu kemulyaan dihadapan Tuhannya bukan
dihadapan sesama manusia. Nilai agama dalam konteks ini mulai cukup jelas dan menunjukkan
bahwa selaku pemeluk Agama Islam kita berada pada posisi hamba atau kawula Tuhan
sehingga hal ini pula diartikan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang
sama yaitu hanya kawula terbatas dan inilah yang kemudian dimaksud suatu
pembebasan dari kasta klasik. Penghambaan umat Islam ini bersifat abstrak yang
secara fungsional membantu dan memotivasi umat Islam menjadi umat yang beradab
sesuai tuntunan hukum dan ajaran Agama Islam.
Jika kita pahami,
ternyata ada satu sisi menarik dari pembahasan ini yang harus dimulai dengan
hipotesis kecil yakni mengapa Agama Islam mampu menjadi suatu realitas tidak
terbantahkan dalam kehidupan manusia sehingga Agama islam mampu mengambil
tempat secara halus dan tenang disisi manusia. Perspektif problematik general
ini dalam bahasa penulis lebih mengarah kepada sudut pandang setiap orang dalam
membaca dan memahami sebuah literature atau realitas keagamaan umat Islam terhadap
pemaknaan dan formulasi masalah dibalik hipotesis kecil diatas. Formulasi ini
bisa saja hanya mempostulatkan sebuah arsitektur jiwa yang bersifat artifisial
dalam response atau dapat berupa ilustrasi objektif dengan visualisai
subjektif.
Untuk menjawab satu
formula diatas, ada beberapa point yang harus dipahami mengapa Agama Islam mampu
mengambil tempat dalam sisi kehidupan manusia, Pertama Realitas Agama Islam bersifat humanistik dan sederhana yang
sangat mengabstraksikan dan mengilustrasikan keadaan manusia yang sebenarnya.
Maksud dari hal ini mengarah kepada suatu proses penyesuaian Agama yang lahir
sebagai penyelamat dan pembimbing kehidupan manusia sehingga lepas dari keterpurukan
sistem kasta klasik sehingga sumber ajaran mutlak Agama Islam yakni Al-Qur’an
mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa setiap individu secara primordial
memiliki hak untuk hidup dan juga dilain hal memberikan penjelesan-penjelasan
berupa pembenaran Agama Islam di era kejahilan semisal belenggu ajaran-ajaran
kaum penyembah berhala.
Kedua
adalah
Agama Islam mampu menjadi Tali penghubung Tuhan dan Manusia. Manusia sebagai
makhluk terbatas dari segala hal tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sebagai
hamba apabila tidak meyakini bahwa penghambaan manusia selaku makhluk terbatas
harus dapat berinteraksi secara transendental dan bekerja melalui kesadaran religiusitas
manusia yang terdalam kemudian direfleksikan dengan menjalankan Ibadah sebagai
kewajiban utama sebagaimana Keterangan Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan tidak
lain untuk beribadah sebagai upaya penghambaan dan terapi diri. Hal ini jelas
semisal dalam kewajiban melaksanakan shalat dalam kehidupan sehari hari.
Persoalan ini terangkat sederhana namun perlu disadari bahwa kewajiban shalat
sebagai ibadah wajib merupakan ritual transendental yang tidak terbantahkan
kemuliaannya dan dapat dijadikan sebagai suatu hipnoterapi dalam penyucian diri
manusia.
Ketiga
adalah
Agama bersemi dalam kehidupan manusia dengan ajarannya yang menjelaskan secara
lantang bahwa agama islam adalah agama yang benar mengantarkan pada jalan
keselamatan hidup dunia dan mampu memberikan satu kompensasi berupa syurga di akhirat.
Hal ini juga sering kita lihat dalam kehidupan beragama kita, bahwa Islam
mengatur segala aspek kehidupan manusia dari detaik-detail kecil hingga
aspek-aspek besar yang tercermin dari pola kehidupan Nabi Muhammad sebagai
Utusan Allah yang terpercaya. Keberadaan Nabi Muhammad sebagai Utusan namun
berstatus manusia sudah mengindikasikan betapa Agama Islam benar-benar
memperhatikan dan mempertimbangkan kesederhanaan kondisi sosio-humanis dalam
konsep Agama sebagai suatu realitas tidak terbantahkan, dan sangat tidak kita
bayangkan apabila utusan Allah tidak berasal dari bangsa manusia melainkan
bangsa malaikat.
Keempat
adalah
kesederhanaan ajaran yang terlahir dari dalam Al-Qur’an sehingga manusia mampu
mengaplikasikannya dengan mudah, hal ini terlihat semisal dalam persoalan rukun-rukun
keislaman dan keimanan yang sangat jelas sederhana. Kesederhanaan ini sejatinya
hanya bersifat ornamentalis yang terletak pada sisi tekstualitas Ajaran saja
namun sangat mendorong suatu penghayatan dan riyadah aplikatif yang cukup rumit
dan tidak mudah dipraktekkan, misalnya kewajiban shalat merupakan ilustrasi
sederhana namun untuk benar-benar berserah diri dalam shalat memerlukan suatu
penghayatan melebihi batas kewajiban itu. Sehingga apabila penghayatan ini
merupakan akar penumbuh nilai-nilai kesadaran yang akan diaktualkan maka tentu
penghayatan ini tidak hanya suatu kondisi keislman diri yang hanya sebuah
Ornamental-realistis dalam hukum-hukum sosial tetapi harus mampu menjadikan
seorang pemeluk Agama yang totalitas.
Dari sebuah penjelesan
yang berhubungan diatas dapat dijadikan sebagai sublimasi kehidupan manusia
beragama Islam dalam melestarikan hidup yang dapat menghidupi kehidupan,
merealisasikan realitas sehingga titik capai dari “hidup” dan “realitas” adalah
mempertahankan suatu pola atau cara hidup kaum beragama Islam dalam menciptakan
realitas keberagamaan yang luhur sesuai dengan tuntunan Agama Islam. Ini sangat
menarik bagi kita yang memahami pola hubungan Agama yang hakiki dengan
cara mengharmonisasikannya serta
meng”real”kan nilai-nilai luhur yang tersimpan dibalik ajaran teks yang
sederhana yang terus berjalan menuju aktualisasi pola hidup berdasarkan tuntunan
Agama. Disinilah kita akan mudah merasakan dimana titik perbedaan dalam
menjalankan suatu ajaran Agama yang dilandasi dengan penghayatan dengan
menjalankan kehidupan suatu ajaran Agama tanpa landasan apapun atau hanya fokus
pada tektualitas Al-Qur’an seperti yang dimaksud diatas. Maka tidak menutup
kemungkinan pula apabila dua perbedaan ini dapat melahirkan suatu perbedaan
pola hidup dalam realitas keagamaannya meskipun sama-sama beragama Islam.
Ada hal yang terbesit
dalam benak kita, bagaimana mengenai perbedaan umat sebelum Nabi Muhammad
diutus dengan setelahnya diutus oleh Allah SWT. Hal ini tentu akan berbicara
manusia keseluruhan. Keseluruhan manusia di muka bumi ini baik yang beragama Islam
maupun tidak, sebelum Nabi Muhammad datang membawa ajaran Agama yang disebut Islam,
telah ada para Nabi sebelumnya yang juga telah mengajarkan nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan
yang diformulasikan berupa keyakinan sehingga Agama Islam kali ini sebenarnya hanya
sebagai Agama penyempurna. Dalam makna penyempurna ini tersimpan makna
melanjutkan, sebab manakala menyempurnakan maka pasti ada aksentuasi ajaran
yang sama dari Agama sebelumnya dengan Agama Islam saat ini. Secara universal, Agama
sebelumnya dan saat ini yang kita sebut Islam tetap memegang erat ajaran
Ketuhanan yang tetap bertitik tumpu pada peng”Esa”an Allah SWT. Sehingga umat manusia
dalam kondisi kontekstualisasi kontinum ini dalam mengemban suatu ajaran tetap dapat
memperoleh hukum, yakni yang masuk Islam tetaplah selamat dan yang tidak mengikuti
agama selain Islam maka tertolak amal baiknya sehingga mereka tidak akan
memperoleh jaminan keselamatan berupa konpensasi syurga secara eskatologis.
Kehadiran
Agama Islam dimuka bumi ini bersifat akulturatif dan asosiatif, berinteraksi
dengan pola kehidupan dengan mulai menuangkan sedikit nilai-nilai kesadaran dan
arti kehidupan secara abstrak sehingga dapat menyatu dengan sisi kebenaran dan
diimplementasikan menjadi sebuah rumusan hidup manusia, maka pasti benar
apabila Agama Islam menjadi Agama Tuhan yang datang kepada manusia melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin. Dialektika ini merupakan proses artistik yang memberikan
suatu nilai tawar tinggi dalam menhidupi kehidupan dimuka bumi ini yakni
datangnya Agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maka yang jelas kita
pahami suatu plot dua arah yakni dari sebuah realitas menuju situasi estetik
berupa artikulasi nilai, dan dari artikulasi nilai menuju realitas kehidupan
sosio-religion.
Lembaran
demi lembaran, ajaran Islam mulai meluas menjadi agama yang kompleks dalam
mengatur latar kehidupan manusia dari sejak hidup hingga hidup kembali dalam
kekekalan hidup di dunia (The here after ).
Islam dalam sisi perkembangan ini membentuk suatu pola keyakinan Eskatologis,
pola keyakinan ini melahirkan satu paradigma kausal mengenai pola kehidupan
manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Artikulasi ini cukup estetik
dalam transaksi pola hidup menjadi suatu tanggung jawab kausal dari dunia ke
akhirat. Sisi artikulasi ini juga mengangkat satu makna filosofis bahwa Agama
Islam yang eskatologis ini menyadarkan manusia bahwa kematian merupakan suatu
hukum kekalan yang tidak akan pernah berubah sebagai konsekwensi hidup dan akan
dialami oleh setiap manusia di muka bumi ini.
Dasar-dasar
artikulasi nilai sosio-humanis ini sangat bergantung pada satu pola hidup
beragama, sebab tanpa landasan Agama Islam ini maka perkembangan masyarakat
tidak akan berjalan stabil. Inilah sebuah realitas yang dimaksud bahwa ajaran
Agama Islam penuh dengan artikulasi nilai kemanusiaan yang mensterilkan kondisi
sosial, realitas sosial yang tidak dapat dipungkiri. Latar belakang kondisi ini
dapat dijadikan suatu bukti konkrit bahwa pergerakan agama dan ajarannya dapat
menggeser suatu kondisi kehidupan manusia dimuka bumi ini dan apabila sudah
menggeser pola kehidupan manusia maka peradabanpun akan ikut mengiringi arah
perubahan tersebut.
Kesimpulan
sederhana dari ulasan pembahasan ini mentali-temalikan bahwa proyeksi dan
orientasi ini “Dari Realitas Munuju Artikulasi Nilai-Nilai Kemanusiaan “ merupakan
upaya pemahaman dalam menciptakan suatu ilustrasi estetik dua arah. Sedangkan
tinjauan penting kedudukan Agama Islam sebagai sebuah realitas dan sistem nilai
yang lebih awal telah disinggung tentang kedudukan Agama Islam dapat dijadikan sebagai
pembebas dari penindasan dan keterpurukan umat manusia dalam beragama hingga
dapat memahami hidup dan kehidupan lingkup sosio-humanis. Agama Islam datang
mengartikulasikan suatu nilai sebagai perbaikan berupa Al-Qur’an sebagai
pedoman (sang pahlawan kebenaran masa
lalu dan masa sepan). Proses perbaikan
ini dapat meliputi perbaikan kasta yang sama sekali non-egaliter dan perbaikan
yang bersifat futuristic berupa pembebasan manusia dari penjara keterpurukan ideologi,
peradaban, krisis spiritual yang
berkembang menjadi macan menakutkan The
Agony of Modernization yakni suasana westernisasi yang terselubung dalam
globalisasi era ini.
Komentar
Posting Komentar