PERAN PENTING ULAMA’ DALAM POLITIK
“Rekonstruksi klaim publik terhadap kontroversial kiai dalam dunia politik”
“Rekonstruksi klaim publik terhadap kontroversial kiai dalam dunia politik”
Begitu ramai perbincangan masyarakat dari semua elemen memperbincangkan, kaum pemuda mempertimbangkan, kaum ilmuan memperbandingkan, kaum cendikiawan meragukan “Kiai turun tangan, kiai terjun ke dunia politik “. Peran penting kiai mulai dipertanyakan bahkan diragukan oleh minoritas menuju mayoritas masyarakat secara siklus umum, diperbincangkan bahkan juga di caci oleh sebagian masyarakat dalam siklus khusus. Tidak lain hal ini merupakan gambaran yang belum dapat dijadikan fakta umum untuk menjastifikasi citra kiai sejatinya.
Peran kiai disisi lain, sangat dibanggakan dan diagungkan, pembangunan pondok pesantren mulai tersebar luas menyeluruh ke plosok negeri dan mulai diakui di dunia pendidikan negeri, seperti telah masyarakat saksikan saat tokoh-tokoh produk pesantren meraih hati dan kewibawaan disisi masyarakat dan bangsa sebut saja guru bangsa kita “ Abdurrahman Wahid, Mahfudz Md, K.H Ramdlan Siraj, dll”. Hal ini mengindikasikan klaim yang dibangun masyarakat hanya sebelah mata mengenai peran kiai di dunia politik dan kenegaraan. Fakta penting ini harus mulai ditinjau ulang mengenai klaim tersebut “ peran kiai dalam dunia politik diambang kemajuan dan kerusakan “ sungguh dramatis!
Dalam pemahaman ini, sisi baru yang perlu diperhatikan adalah standard pengertian serta pemahaman yang dimiliki masyarakat mengenai issu diatas sejauh mana. Klaim masyarakat yang terjadi pada dekade terakhir semakin jelas bahkan media sudah mulai menyuarakan kekecewaan publik terhadap para kiai yang terjun kedunia politik hanya mengumbar janji tanpa bukti.
Mari kita tinjau bersama mengenai hal itu, secara sederhana penulis mengatakan bahwa klaim yang dialukan masyarakat ternilai terburu-buru (Fallacy), sehingga pemahaman masyarakat tentang kiai yang ada di parlemen jelek. Hal ini juga tidak perlu disalahkan sebab realitas merupakan hasil dari sistem dan hukum sosial yang terjadi, berkesinambungan antara perbaikan dan keterlambatan sebagian pada bagian yang lainnya, dalam birokrasi tidak ada pembenaran dan pembelaan. Realitas perbaikan dan tercemarnya nama kiai dalam dunia politik sama-sam disahkan oleh dua dimensi sudut pandang publik diatas.
Analisa penting yang tidak boleh lepas dari dua dimensi publik, adalah cara mereka mendefinisikan apa itu kiai (occuption of the priest), siapa kiai (identity of the priest) dan melalui apa kita memahami arti kiai (method to think of the priest). Tiga komponen ini harus menjadi rumusan dan dasar kebenaran ditengah klaim yang cukup fenomenal menganai kontroversial kiai dalam dunia politik.
Pertama, memahami sosok kiai tidak cukup dari sisi jabatan yang di emban seseorang sbagai pengasuh pondok pesantren dan di surau-surau, atau keturunan kiai, melainkan bagaimana kita meletakkan pemahaman bahwa kiai adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya sebagai penerus para Nabi(karena asal-usul kiai diawal memang orang-orang yang berilmu), hal ini mulai terkikis oleh era global “ agama dan modern” yang dampaknya , pangkat kiai mudah terakreditasi pada siapapun yang berkopyah dan sok alim.
Kedua, sosok kiai yang dipandang tidak hanya sebuah identitas atau simbolik yang diambil dikalangan masyarkat seperti, muballigh, pendakwah, penceramah, penasehat yang tidak asing lagi dimaksudkan. Ketiga, analisa yang mendasar atas klaim masyarakat terhadap kiai terkadang subjektif yang disebabkan tidak paham cara menganalisa “ mengiyakan yang iya, mentidakkan yang tidak “ mengalir saja _ tradisi klasik yang perlu dibangun dengan analisa kritis.
Penetrasi dari pemahaman masyarakat dimulai sejak arus perpolitikan semakin menawarkan candidat yang berstatus kiai, disini penulis mencoba menggali kebenaran yang harus dipertanggungjawabkan, sebagai hakikat dari pencemaran nama baik seorang kiai sebagai ulama’. Sepintas kita memberikan sbuah pernyataan bahwa peran dan kiprah kiai tidak mampu mengambil alih perubahan, maka pertanyaannya adalah seberapa kuat dominasi kiai di birokrasi?.
Beralih kita pada fakta lapangan, banyak kiai yang menawarkan janji palsu. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa pangkat kiai telah gugur seketika itu pula terhadap seorang yang dikatakan kiai namun janjinya palsu bukan lagi kita sebut kiai terjun ke dunia politik semakin merusak negeri. Tidak ada alasan untuk membenarkan sesuatu yang khusus kemudian digenaralkan sebagai fakta umum klaim terhadap kiai.
Pemahaman ini sangatlah sederhana, di tinjau dari asal-usul yang telah dibahas diatas cukup mewakili maksud mengenai asal-muala kiai sebagai pangkat seorang yang ahli ilmu dengan klaim publik terhadap citra kiai perlu dipisahkan, pendeknya antara hakikat(siapa itu kiai) dengan realitas(klaim mata publik) harus dipisahkan dan dipecahkan melalui definisi sekuler, kiai adalah ulama’, ulama’ adalah orang yang mengamalkan ilmunya maka yang jelas garis singgung yang dapat dijadikan patokan pemahaman ulama’(kiai) ataukah bukan?, sebab ketika seorang kiai telah melempar lidah maka disaat itu pula wajib melempar bukti, sebab terkadang klaim yang terjadi lebih diakibatkan sudut pandang publik terhadap kiai dan ulama’. Kalau ulama’ ya kiai, kalau kiai ya ulama’. Begitu seharusnya agar tidak semua kiai itu jelek dimata publik.
Krisis analisa ini sangat jelas, namun sulit menyadarkan pemahaman masyarakat luas lebih-lebih yang berstatus pelajar, siswa dan mahasiswa. Masyarakat lebih suka menilai kekurangan dan kemorosotan dari pada usaha. Lebih memikirkan kegagalan dari pada kesuksesan, durasi dan frekuensi ini merupakan gejala dan desakan global yang tertata rapi, rekayasa sosial yang merapuhkan pemikiran, mungkin secara perlahan terlihat indah dan menawan, sejenak masyarakat mengatakan “ inilah formalitas” sebagai bentuk pembelaan yang sebenarnya hal itu merupakan persetujuan terhadap dirinya yang terbalik namun dinilai benar. Dari dimensi ini penulis mulai merasakan gejala dalam konteks sosial masyarkat.
Pergeseran pemahaman yang melahirkan klaim tersebut lebih kepada devide ad empera, adudomba pemahaman sesama saudara muslim dan percaturan di meja hitam perpolitikan , santri mengecam kiainya, bagaimana kita harus membaca, menela’ah serta menyimpulkan fakta tragis yang sedemikian, selain kita telah menjadi sosok individualis dibaurkan dengan kebebasan sistem demokrasi, disinilah benang merah dan akar permasalahan klaim yang dibangun masyarakat mengenai citra politik sosok gagah kiai.
Peran kiai disisi lain, sangat dibanggakan dan diagungkan, pembangunan pondok pesantren mulai tersebar luas menyeluruh ke plosok negeri dan mulai diakui di dunia pendidikan negeri, seperti telah masyarakat saksikan saat tokoh-tokoh produk pesantren meraih hati dan kewibawaan disisi masyarakat dan bangsa sebut saja guru bangsa kita “ Abdurrahman Wahid, Mahfudz Md, K.H Ramdlan Siraj, dll”. Hal ini mengindikasikan klaim yang dibangun masyarakat hanya sebelah mata mengenai peran kiai di dunia politik dan kenegaraan. Fakta penting ini harus mulai ditinjau ulang mengenai klaim tersebut “ peran kiai dalam dunia politik diambang kemajuan dan kerusakan “ sungguh dramatis!
Dalam pemahaman ini, sisi baru yang perlu diperhatikan adalah standard pengertian serta pemahaman yang dimiliki masyarakat mengenai issu diatas sejauh mana. Klaim masyarakat yang terjadi pada dekade terakhir semakin jelas bahkan media sudah mulai menyuarakan kekecewaan publik terhadap para kiai yang terjun kedunia politik hanya mengumbar janji tanpa bukti.
Mari kita tinjau bersama mengenai hal itu, secara sederhana penulis mengatakan bahwa klaim yang dialukan masyarakat ternilai terburu-buru (Fallacy), sehingga pemahaman masyarakat tentang kiai yang ada di parlemen jelek. Hal ini juga tidak perlu disalahkan sebab realitas merupakan hasil dari sistem dan hukum sosial yang terjadi, berkesinambungan antara perbaikan dan keterlambatan sebagian pada bagian yang lainnya, dalam birokrasi tidak ada pembenaran dan pembelaan. Realitas perbaikan dan tercemarnya nama kiai dalam dunia politik sama-sam disahkan oleh dua dimensi sudut pandang publik diatas.
Analisa penting yang tidak boleh lepas dari dua dimensi publik, adalah cara mereka mendefinisikan apa itu kiai (occuption of the priest), siapa kiai (identity of the priest) dan melalui apa kita memahami arti kiai (method to think of the priest). Tiga komponen ini harus menjadi rumusan dan dasar kebenaran ditengah klaim yang cukup fenomenal menganai kontroversial kiai dalam dunia politik.
Pertama, memahami sosok kiai tidak cukup dari sisi jabatan yang di emban seseorang sbagai pengasuh pondok pesantren dan di surau-surau, atau keturunan kiai, melainkan bagaimana kita meletakkan pemahaman bahwa kiai adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya sebagai penerus para Nabi(karena asal-usul kiai diawal memang orang-orang yang berilmu), hal ini mulai terkikis oleh era global “ agama dan modern” yang dampaknya , pangkat kiai mudah terakreditasi pada siapapun yang berkopyah dan sok alim.
Kedua, sosok kiai yang dipandang tidak hanya sebuah identitas atau simbolik yang diambil dikalangan masyarkat seperti, muballigh, pendakwah, penceramah, penasehat yang tidak asing lagi dimaksudkan. Ketiga, analisa yang mendasar atas klaim masyarakat terhadap kiai terkadang subjektif yang disebabkan tidak paham cara menganalisa “ mengiyakan yang iya, mentidakkan yang tidak “ mengalir saja _ tradisi klasik yang perlu dibangun dengan analisa kritis.
Penetrasi dari pemahaman masyarakat dimulai sejak arus perpolitikan semakin menawarkan candidat yang berstatus kiai, disini penulis mencoba menggali kebenaran yang harus dipertanggungjawabkan, sebagai hakikat dari pencemaran nama baik seorang kiai sebagai ulama’. Sepintas kita memberikan sbuah pernyataan bahwa peran dan kiprah kiai tidak mampu mengambil alih perubahan, maka pertanyaannya adalah seberapa kuat dominasi kiai di birokrasi?.
Beralih kita pada fakta lapangan, banyak kiai yang menawarkan janji palsu. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa pangkat kiai telah gugur seketika itu pula terhadap seorang yang dikatakan kiai namun janjinya palsu bukan lagi kita sebut kiai terjun ke dunia politik semakin merusak negeri. Tidak ada alasan untuk membenarkan sesuatu yang khusus kemudian digenaralkan sebagai fakta umum klaim terhadap kiai.
Pemahaman ini sangatlah sederhana, di tinjau dari asal-usul yang telah dibahas diatas cukup mewakili maksud mengenai asal-muala kiai sebagai pangkat seorang yang ahli ilmu dengan klaim publik terhadap citra kiai perlu dipisahkan, pendeknya antara hakikat(siapa itu kiai) dengan realitas(klaim mata publik) harus dipisahkan dan dipecahkan melalui definisi sekuler, kiai adalah ulama’, ulama’ adalah orang yang mengamalkan ilmunya maka yang jelas garis singgung yang dapat dijadikan patokan pemahaman ulama’(kiai) ataukah bukan?, sebab ketika seorang kiai telah melempar lidah maka disaat itu pula wajib melempar bukti, sebab terkadang klaim yang terjadi lebih diakibatkan sudut pandang publik terhadap kiai dan ulama’. Kalau ulama’ ya kiai, kalau kiai ya ulama’. Begitu seharusnya agar tidak semua kiai itu jelek dimata publik.
Krisis analisa ini sangat jelas, namun sulit menyadarkan pemahaman masyarakat luas lebih-lebih yang berstatus pelajar, siswa dan mahasiswa. Masyarakat lebih suka menilai kekurangan dan kemorosotan dari pada usaha. Lebih memikirkan kegagalan dari pada kesuksesan, durasi dan frekuensi ini merupakan gejala dan desakan global yang tertata rapi, rekayasa sosial yang merapuhkan pemikiran, mungkin secara perlahan terlihat indah dan menawan, sejenak masyarakat mengatakan “ inilah formalitas” sebagai bentuk pembelaan yang sebenarnya hal itu merupakan persetujuan terhadap dirinya yang terbalik namun dinilai benar. Dari dimensi ini penulis mulai merasakan gejala dalam konteks sosial masyarkat.
Pergeseran pemahaman yang melahirkan klaim tersebut lebih kepada devide ad empera, adudomba pemahaman sesama saudara muslim dan percaturan di meja hitam perpolitikan , santri mengecam kiainya, bagaimana kita harus membaca, menela’ah serta menyimpulkan fakta tragis yang sedemikian, selain kita telah menjadi sosok individualis dibaurkan dengan kebebasan sistem demokrasi, disinilah benang merah dan akar permasalahan klaim yang dibangun masyarakat mengenai citra politik sosok gagah kiai.
Komentar
Posting Komentar