Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Isma’il Raji Al-Faruqi
"Filsafat Pendidikan Islam"
Oleh
Ongki Arista Ujang Arisandi
Isma’il Raji Al-Faruqi
"Filsafat Pendidikan Islam"
Oleh
Ongki Arista Ujang Arisandi
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian tentang hakikat dari suatu pengertian pendidikan, menurut ajaran islam yang dieksplorasi melalui konstruksi filsafat secara epistemologi. Elaborasi filsafat dan islam dalam sistem pendidikan mengidentifikasi substansi pendidikan islam dari sudut pandang dan analisis filsafat. Hal ini menjadikan kedudukan filsafat sangat urgen untuk dijadikan sebagai metode pembahasan dalam makalah ini.
Filsafat pendidikan islam merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan yang sejalan dengan islam. Membuat pengertian tentang filsafat pendidikan islam mungkin dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, dengan penekanan yang lebih dominan kepada filsafatnya. Kedua, dengan memposisikan pendidikan sebagai yang dominan dan filsafat sebagai alat analisis terhadap pendidikan tersebut. Ketiga, Menjadikan islam sebagai landasan dan pembatas kajian pendidikan dari analisis filsafat. Dengan demikian filsafat pendidikan islam dapat dipahami sebagai aplikasi filsafat dalam pendidikan islam. Juga dapat dimengerti sebagai acuan berpikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang pendidikan dalam islam. Ketiga pengertian itu dapat dipakai terutama disebabkan karena masing-masing, baik filsafat ataupun pendidikan dan islam itu sendiri memiliki otonomi. Mengapa disebut otonom, karena ketiganya memiliki objek kajian atau objek penelaahan masing-masing pula memiliki sistematika tersendiri.
Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian tentang hakikat dari suatu pengertian pendidikan, menurut ajaran islam yang dieksplorasi melalui konstruksi filsafat secara epistemologi. Elaborasi filsafat dan islam dalam sistem pendidikan mengidentifikasi substansi pendidikan islam dari sudut pandang dan analisis filsafat. Hal ini menjadikan kedudukan filsafat sangat urgen untuk dijadikan sebagai metode pembahasan dalam makalah ini.
Filsafat pendidikan islam merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan yang sejalan dengan islam. Membuat pengertian tentang filsafat pendidikan islam mungkin dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, dengan penekanan yang lebih dominan kepada filsafatnya. Kedua, dengan memposisikan pendidikan sebagai yang dominan dan filsafat sebagai alat analisis terhadap pendidikan tersebut. Ketiga, Menjadikan islam sebagai landasan dan pembatas kajian pendidikan dari analisis filsafat. Dengan demikian filsafat pendidikan islam dapat dipahami sebagai aplikasi filsafat dalam pendidikan islam. Juga dapat dimengerti sebagai acuan berpikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang pendidikan dalam islam. Ketiga pengertian itu dapat dipakai terutama disebabkan karena masing-masing, baik filsafat ataupun pendidikan dan islam itu sendiri memiliki otonomi. Mengapa disebut otonom, karena ketiganya memiliki objek kajian atau objek penelaahan masing-masing pula memiliki sistematika tersendiri.
Sehubungan dengan kajian pendidikan islam, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan objek utama yang mempengaruhi konsep dan praktik pendidikan islam, sehingga banyak tokoh-tokoh pendidikan islam mulai mengargumentasikan pandangannya(konsep dan realita). Dalam hal ini kita akan mengkaji corak pemikiran Isma’il raji Al-faruqi tentang “Unity of Knowledge”.
Untuk mengatahui biografi dan level pemikiran beliau tidaklah sulit, sebab beliau adalah tokoh pemikir kontemporer yang masih hangat dalam percaturan ilmu pengetahuan sehingga data-data tentang kehidupannya masih dapat direkam dengan baik. Sosok Al-faruqi sangat dikenal di negeri paman Sam. Setelah dia menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya palestina, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres yang diawali pada tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Kemudian, pada 1941, Al-Faruqi melanjutkan pendidikannya di American University of Beirut, dengan mengambil kajian filsafat sampai meraih gelar sarjana muda(Bachelor of Art).
Untuk mengatahui biografi dan level pemikiran beliau tidaklah sulit, sebab beliau adalah tokoh pemikir kontemporer yang masih hangat dalam percaturan ilmu pengetahuan sehingga data-data tentang kehidupannya masih dapat direkam dengan baik. Sosok Al-faruqi sangat dikenal di negeri paman Sam. Setelah dia menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya palestina, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres yang diawali pada tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Kemudian, pada 1941, Al-Faruqi melanjutkan pendidikannya di American University of Beirut, dengan mengambil kajian filsafat sampai meraih gelar sarjana muda(Bachelor of Art).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam
2. Bagaimana biografi Isma’il Raji Al-Faruqi
3. Bagaimana konsep pendidikan islam dalam pespektif Isma’il Raji Al-Faruqi
2. Bagaimana biografi Isma’il Raji Al-Faruqi
3. Bagaimana konsep pendidikan islam dalam pespektif Isma’il Raji Al-Faruqi
C. Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi materi dalam mata kuliah pendidikan islam, makalah ini memiliki tujuan-tujuan yang lebih khusus yaitu :
1. Membantu pembaca untuk memahami corak atau sudut pandang penulis tentang makalah ini
2. Membantu pembaca untuk lebih mudah memahami pengertian dan ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan
3. Membantu pembaca mengenal sosok Isma’il Raji Al-faruqi dan konsepnya tentang the unity of knowledge
2. Membantu pembaca untuk lebih mudah memahami pengertian dan ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan
3. Membantu pembaca mengenal sosok Isma’il Raji Al-faruqi dan konsepnya tentang the unity of knowledge
4. Membantu pembaca untuk lebih paham tentang perkembangan perspektif pendidikan dalam pengembangan sumber data pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Sebagaimana yang telah terbahas di bab pendahuluan, filsafat pendidikan islam mengarah kepada sistem pendidikan yang sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan pengertian filsafat dan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan sistem. Sebagai sebuah sistem, pendidikan terdiri dari komponen-komponen itu membentuk satu kesatuan yang utuh. Keutuhan ini terbukti ketika satu komponen mendapat masalah, akan mempengaruhi yang lainnya. Sedangkan filsafat lebih kepada konstruksi kritis dari sistem pendidikan. Selanjutnya pembahasan akan lebih diarahkan pada pengertian filsafat pendidikan secara umum kemudian diteruskan pada pembahasan filsafat pendidikan Islam. Dalam memahami apa pengertian dari filsafat pendidikan, maka dapat digunakan dua pendekatan[1], yaitu:
1. Pendekatan tradisional;
2. Pendekatan kritis.
Pertama, filsafat pendidikan dalam arti tradisional adalah filsafat pendidikan dalam bentuk yang murni. Pendekatan ini telah berkembang dengan menghasilkan berbagai alternatif jawaban terhadap berbagai macam pertanyaan filosofis yang diajukan dalam bidang pendidikan yang jawabannya terdapat dalam berbagai aliran filsafat pendidikan. Kedua, Pendekatan pemikiran kritis. Dalam pendekatan ini pertanyaan yang diajukan dapat disusun dan tidak terikat periode waktu serta dapat menerapkan analisis yang dapat menjangkau waktu kini maupun yang akan datang. Analisa yang digunakan adalah dengan 2 (dua) cara analsis yaitu analisis bahasa (linguistik) dan analisa konsep(concept). Analisa bahasa adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut pendapat mengenai makna. Analisa bahasa sangat diperlukan untuk mennghasilkan tinjauan yang mendalam. Sedangkan analisa konsep adalah suatu analisa mengenai gagasan atau konsep. Jawaban-jawaban dalam analisa konsep berbentuk definisi-definisi yang diungkapkan oleh para tokoh.
Pengertian filsafat pendidikan dapat diketahui pula dengan melakukan kajian terhadap hubungan filsafat dan pendidikan. Menurut beberapa ahli pikir adalah sebagai berikut:
1. John Dewey memandang pendidikan sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir maupun daya perasaaan, menuju ke arah tabiat manusia. Filsafat dalam hal ini dapat disebut sebagai teori umum pendidikan. Tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring yaitu sama-sama memajukan hidup manusia.
2. Thomson mengatakan bahwa filsafat berarti “melihat seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya”. Filsafat adalah suatu bentuk pemikiran yang konsekuen, tanpa kenal kompromi tentang hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dann bulat.
3. Van Cleve Morris menyatakan, pendidikan adalah studi filosofis, karena itu sebenarnya bukan hanya alat sosial semata, tetapi juga menjadi agen yang melayani hati nurani masyarakat dalam memperjuangkan hari esok yang lebih baik[2].
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah pendidikan. Filsafat pendidikan juga diartikan sebagai teori pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap bidang pendidkan. Membuat pengertian tentang filsafat pendidikan mungkin dapat ditempuh melalui dua cara Pertama, dengan penekanan yang lebih dominan kepada filsafatnya. Kedua, dengan memposisikan pendidikan sebagai yang dominan dan filsafat sebagai alat analisis terhadap pendidikan tersebut. Dengan demikian filsafat pendidikan dapat dipahami sebagai aplikasi filsafat dalam pendidikan. Juga dapat dimengerti sebagai berpikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang pendidikan. Kedua pengertian itu dapat dipakai terutama disebabkan karena masing-masing, baik filsafat ataupun pendidikan memiliki otonomi. Mengapa disebut otonom, karena keduanya memiliki objek kajian atau objek penelaahan. Masing-masing pula memiliki sistematika tersendiri. Nah dengan demikian kedua pengertian tersebut kiranya dapat digunakan. Yang menarik dari filsafat adalah pada tujuan dan proses penyelidikannya. Tujuannya ialah mencapai kejelasan dan pemahaman sedalam dan seluas mungkin, dengan menjernihkan, memperkaya, dan mengkoordinasi bahasa yang digunakan untuk menafsirkan pengalaman. Jadi, filsafat merupakan suatu cara pandang terhadap pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Filsafat mengorganisir, menafsirkan, menjernihkan, dan mengkritik segala yang ada di dalam realitas yang sudah di ketahui dan di alami. Atas dasar itu, filsafat pendidikan merupakan penerapan metode dan cara pandang filosofis terhadap wilayah pengalaman yang disebut pendidikan.
Filsafat memiliki nilai signifikan dalam proses pendidikan (ilmu pengetahuan), dalam mengkoordinasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pendidikan. Oleh karena itu, filsafat merupakan salah satu dari beberapa yang menjadi landasan pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan suatu acuan yang dijadikan bahan referensi dalam menentukan pendidikan, maka harus adanya sistem pendidikan dalam membina filsafat pendidikan yang menyeluruh, realistik, dan fleksibel dalam mengambil landasan-landasan dan prinsipprinsipnya dari prinsip-prinsip dan ajaran Islam yang mulia dan akidahnya yang berkaitan dengan watak alam jagat, manusia, masyarakat, dan kehidupan dan juga hubungan elemenelemen ini semua satu sama lain disatu segi dan hubungannya dengan penciptanya di segi yang lain. Juga yang berhubungan dengan watak ilmu pengetahuan manusia, watak nilai-nilai moral, dan watak proses pendidikan dan fungsinya dalam kehidupan.
Selain itu juga, filsafat memilki nilai historis dalam mentransformasikan pendidikan, sehingga filsafat sering disebut ibu atau ratu pengetahuan (the mother atau the queen of the science), sebab dalam dirinya telah lahir berbagai ilmu. Puncaknya pada abad ke-19 berbagai ilmu masih di pandang sebagai cabang filsafat: fisika dan kimia masih di bawah naungan filsafat alam; psikologi masih di bawah filsafat mental; serta politik, ekonomi, dan sosiologi berada di bawah payung filsafat moral. Lambat laun ilmu-ilmu tumbuh dan berkembang menjadi mandiri dalam penemuan dan penemuan fakta empiris. Setelah tumbuhnya ilmu-ilmu baru, karena di temukannya berbagi penemuan yang sesuai fakta empiris, ada beberapa yang masih ada dalam naungan filsafat. Yang berhubungan dengan masalah pendidikan ialah etika, yaitu teori tentang nilai; epistomologi, yaitu teori tentang pengetahuan; yaitu teori umum tentang wujud atau realitas. Masalah pengujian tujuan pendidikan, motivasi belajar, dan pengukuran hasilnya berhubungan dengan masalah etika, yaitu masalah nilai. Dengan adanya nilai historis yang teraplikasi dalam filsafat, secara tidak langsung filsafat dapat mengkoordinasikannnya dalam proses pendidikan, serta membantu dalam perkembangannya, sehingga mampu menjadi suatu landasan untuk dijadikan referensi,untuk dioprasionalkan dalam pendidikan.
Selain memiliki nilai historis, filsafat juga berada sebagai satuan sosial. Gagasan dasarnya terletak pada konsep tentang kebenaran ilmu(Filsafat ilmu secara teoritis)[3], serta gagasan tentang manusia. Dari sini satuan sosial diletakkan sebagai akar kehidupan kemanusiaan, tampak pula di dalamnya gagasan tentang filsafat manusia, alam dan pendidikan. Pendidikan harus percaya bahwa pencapaian keutamaan hidup itu memerlukan daya kreatif dengan kekuatan akal pikiran dan kesedian berkorban. Kesempurnaan akal-pikiran diperoleh seseorang jika bisa membedakan dan membandingkan kebenaran dan kesalahan. Pendidikan yang berguna bagi penyempurnaan akal-pikiran jauh lebih penting di bandingkan memenuhi kebutuhan makan. Jadi, yang dimaksud filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya, sistematis, dan universal mengenai pendidikan. Perenungan tersebut untuk mengkoordinasi tentang pendidikan atau sejumlah prinsip, kepercayaan, konsep, asumsi, dan premis yang ada hubungan eratnya dengan praktek pendidikan yang ditentukan dalam bentuk yang lengkap-melengkapi, bertalian dan selaras yang berfungsi sebagai teladan dan pembimbing bagi usaha pendidikan dan proses pendidikan dengan seluruh aspek-aspeknya dan bagi politik pendidikan di dalam suatu Negara.
Filsafat dalam hubungannya dengan pendidikan tentunya mencoba mempertanyakan persoalan-persoalan pokok pendidikan. Persoalan-persoalan pendidikan itu antara; Apa hakikat pendidikan itu? Apa tujuan pendidikan itu? bagaimana proses pendidikan itu dilakukan? Bagaimana dan siapa yang di didik itu? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan persoalan pendidikan yang perlu dijawab oleh filsafat[4].
Filsafat dengan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, filsafat dan pendidikan saling menunjang satu sama lain. Filsafat pendidikan mempersoalkan hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan tentunya perlu diambil hakikat pengertiannya dari sesuatu yang sangat fundamental. Sesuatu yangsangat penting itu tentunya berhubungan dengan hidup dan kehidupan ini. Jadi, perludiketahui hakikat hidup itu apa. Mengenai hakikat hidup ini juga perlu dicari pengertiannya. Jawabannya justru dapat muncul dari filsafat atau mungkin dari agama.
Filsafat dan agama memang banyak berbicara tentang hakikat hidup ini. Jawabannya
mungkin beragam atau berbeda. Jawaban tentang hidup ini kemudian dihubungkan dengan hakikat pendidikan maka hakikat hidup kemudian menjadi dasar dari hakikat pendidikan. Jawaban tentang hakikat hidup ini menjadi pijakan bagi perumusan hakikatnya. Begitu pula tentang tujuan pendidikan perlu dihubungkan dengan tujuan hidup, jawaban tentang hakikat tujuan hidup ini juga diperoleh dari filsafat dan agama yang banyak berhubungan dengan tujuan-tujuan hidup ini. Tujuan hidup ini kemudian juga menentukan arah dari tujuan pendidikan. Permasalahan tujuan pendidikan ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan akan menentukan hebat atau lemahnya pendidikan. Manusia merupakan bagian yang penting dalam filsafat pendidikan ini. Kajian tentang manusia merupakan inti pendidikan dikarenakan pendidikan itu pada dasarnya untuk manusia. Pembahasan tentang manusia dan pendidikan membawa kepada pembahasan tentang hakikat manusia. Apa hakikat manusia itu? dari mana dan hendak kemana manusia itu? Jawaban-jawaban tentang hakikat manusia itu akan menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan sekaligus menentukan arah garapan pendidikan itu.
Membahas filsafat pendidikan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang teori pendidikan dan praktek pendidikan. Ketiga hal tersebut merupakan tiga serangkai yang hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa filsafat melahirkan teori dan teori dapat melahirkan praktek. Dapat pula dibalik bahwa praktek pendidikan akan melahirkan teori pendidikan. Yang jelas, ketiganya memiliki silaturahmi yang erat. Tentunya, karena filsafat yang mempengaruhi pendidikan sangat banyak, maka kemudian pendidikan berhak untuk menemukan filsafat mana yang akan diterima. Seperti halnya tuan rumah berhak menerima ataupun menolak tamu yang datang ke rumahnya . Dalam filsafat pendidikan ini tentunya akan ditemukan banyak aliran filsafat pendidikan. Pembahasan tentang aliran filsafat pendidikan ini sulit untuk dihindari dikarenakan pengaruhnya yang demikian jelas terhadap pendidikan. Corak pendidikan di sebuah Negara atau masyarakat tentu akan dipengaruhi oleh aliran filsafat pendidikan mana yang dipakai didaerah tersebut.
Munculnya aliran-aliran tersebut tentunya tidak akan lepas dari tokoh yang membidangi atau yang berpengaruh dalam filsafat tersebut. Peran tokoh disini tentunya sangat penting. Karenanya tidak dapat dihindari untuk membahas tokoh-tokoh aliran filsafat pendidikan yang melahirkan filsafat pendidikan itu. Pelacakan tentang hal ini tentunya akan membantu mengurai atau memperjelas alur dan arus pemikiran dari yang sekarang berkembang sampai ke akar-akarnya. Dengan demikian akan diperoleh deskripsi yang menyeluruh atau paling tidak gambaran yang jelas tentang ide-ide filsafat pendidikan yang sekarang muncul dan berkembang[5].
Berbagai pendapat para ahli mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam. Muzayyin Arifin, misalnya mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia Muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Sedangkan menurut Omar Muhammad al-Taomy al-Syaibany, filsafat pendidikan Islam tidak lain ialah pelaksanaan pandangan filsafat dari kaidah filsafat Islam dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam. Dari uraian dan analisa tersebut kiranya dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber sekunder.
Filsafat pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia Muslim dan Umat Islam. Di samping itu filsafat pendidikan Islam, juga merupakan studi tentang penggunaan dan penerangan metode dan sisten filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam,dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat Islam, filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran tentang beberapa hal mengenai pendidikan yang dituntun oleh ajaran islam[6].
B. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu, harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan. Karena itu dalam mengkaji filsafat pendidikan Islam seseorang akan diajak memahami konsep tujuan pendidikan, konsep guru yang baik, konsep kurikulum, dan seterusnya yang dilakukan secara mendalam, sistematik, logis, radikal, dan universal berdasarkan tuntutan agama Islam, khususnya berdasarkan al- Qur’an dan al-Hadits[7].
Dalam hubungan dengan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ini, Muzayyin Arifin lebih lanjut mengatakan bahwa ruang lingkup pemikirannya bukanlah mengenai hal-hal yang bersifat teknis operasional pendidikan, melainkan segala hal yang mendasari serta mewarnai corak sistem pemikiran yang disebut filsafat itu. Dengan demikian, secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam ini adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh dan universal mengenai konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan, dan seterusnya. Filsafat pendidikan Islam merupakan aplikasi dari filsafat Islam untuk mengkaji dan menelaah semua persoalan pendidikan. Jadi, yang menjadi bahan kajian dalam filsafat pendidikan Islam tidak hanya menyangkut persoalan pendidikan, tetapi terlebih dahulu harus dikaji apa yang menjadi isi filsafat Islam. Filsafat Islam harus membahas hakikat realitas, hakikat pengetahuan, dan hakikat nilai. Oleh karena itu, filsafat pendidikan Islam harus mengkaji beberapa hal, yaitu:
a) Pandangan Islam tentang realitas.
b) pandangan Islam tentang pengetahuan.
c) Pandangan Islam tentang nilai.
d) Pandangan Islam tentang tujuan pendidikan.
e) Cara-cara pencapaian tujuan pendidikan, yang juga akan menyangkut isi pendidikan dan proses pendidikan[8].
Secara makro, apa yang menjadi objek filsafat yaitu ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan manusia merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Secara mikro yang menjadi objek pemikiran atau ruang lingkup filsafat pendidikan sebagai berikut :
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan;
2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan;
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaaan;
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan , dan teori pendidikan;
5. Merumuskan hubungan antara filsafat Negara, filsafat pendidikan , dan politik
pendidikan;
6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan[9].
C. Mengenal Isma’il Raji Al-Faruqi
1. Biografi Al-Faruqi
Ketika memperhatikan corak perkembangan pemikiran filsafat pendidikan, terkhusus pendidikan islam, akan mendapatkan sketsa pemahaman yang beranekaragam, mulai dari zaman klasik hingga kontemporer. Masing-masing zaman pastinya memiliki karakteristik berbeda karena perbedaan tokoh pemikir tentang filsafat pendidikan di zaman yang berbeda pula.
Laju perkembangan pemikiran islam terus berkembang sampai pada periode kontemporer dengan corak dan karakteristik pemikirannya yang cendrung pada upaya pencarian solusi problem epistemologi dan sistem pendidikan yang dialami oleh umat islam dalam hubungannya yang terhegemoni oleh dunia keilmuan barat. Salah satu corek pemikiran era kontemporer ialah mencoba menyingkap ulang persoalan khazanah pemikiran Islam klasik. Dalam hal ini sebagaiman upaya yang dikemukakan oleh tokoh besar Muslim bernama Ismail Raji Al-Faruqi dengan gagasannya yang sangat terkenal yaitu Islamisasi Sains(Unity of knowledge)
Untuk melacak biografi Isma’il Raji Al-Faruqi, tidaklah terlalu sulit, utamanya dalam hal kelahiran dan kematiannya, karena beliau seorang tokoh yang masih cukup hangat dan termasuk tokoh kontemporer, sehingga data-data tentang kehidupan Isma’il Raji Al-Faruqi masih dapat direkam dengan baik. Hampir semua Sumber sepakat bahwa Al-Faruqi dilahirkan di Jaffa(Yaifa), Palestina, pada tahun 1921 tanggal 1 januari dan meninggal dengan usia 65 tahun yaitu meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 bertepatan dengan tanggal 18 Ramadlan 1406 H. Ayahnya adalah seorang qadi terpandang di palestina bernama Abdul Huda Al-Faruqi.
Meskipun Al-Faruqi dilahirkan di palestina yang mayoritas Negara Islam, pendidikan dan pengalaman studinya sebagian besar didapatkan di barat. Hal ini disebabkan konflik Israel dan Palestina yang berkepanjangan yang kemudian menjadi penyebab Al-faruqi menghabiskan masa belajarnya di barat[10].
Setelah dia menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya palestina, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres di Libanon yang diawali pada tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Kemudian, pada 1941, Al-Faruqi melanjutkan pendidikannya di The American University of Beirut, dengan mengambil kajian filsafat sampai meraih gelar sarjana muda(Bachelor of Art) pada tahun 1941.[11].
Setelah lulus sarjana Al-Faruqi kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdi sebagai pegawai pemerintah palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun. Dan kemudian diangkat menjadi Gubernur Galilea. Namun jabatan yang dia pimpin ternyata merupakan jabatan pertama dan terakhir dalam sejarah palestina sejak tahun 1947 provinsi yang dipimpin oleh Al-Faruqi jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat Al-Faruqi kemudian pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al-Faruqi menggeluti bidang akademis dan persoalan keilmuan. Hal ini mendorong Al-Faruqi untuk melanjutkan studinya. Selain itu, kultur masyarakat barat yang cendrung tidak rasialis dan condong deskriminatif memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademisnya sehingga gelar master pertamanya di bidang filsafat, diperoleh di Indiana University, AS. pada 1949. Dan Al-Faruqi berhasil meraih gelar master keduanya (Master of art) dari Universitas Harvard, dengan judul tesisnya “on justifying the good: Metaphysic and Epistemology of value(tentang pembenaran kebaikan: Metafisika dan Epistemologi ilmu)[12]. dan selanjutnya selama 4 tahun dia menekuni studi keislaman di Universtas Al-Azhar, Kairo. Setelah Usai studinya di Al-Azhar, Al-Faruqi sudah mulai banyak berkiprah.
Dengan Intelektual yang tinggi, Al-Faruqi meneruskan perjuangannya dalam bidang akademis dengan mengabdikan dirinya menjadi pengajar di Universitas McGill University of kanada selama dua tahun yaitu pada tahun 1959-1961. Pada tahun 1962, Al-Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan. Disana Al-Faruqi terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research. Setahun setelahnya pada 1963, Al-Faruqi kembali ke AS dan mulai mengajar kuliah di fakultas agama Universitas Chicago yaitu sebagai lektor kepala agama islam pada tahun 1966-1968 , dan kemudian pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. pada tahun 1968, dia pindah ke Universitas Temple. Philadelphia , sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di Institusi disana.
Selain Al-Faruqi juga pernah mendalami tentang Judaisme dan Kristen, juga aktif mengikuti kajian tentang Islam di berbagai Negara sperti, Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya dan Arab Saudi. Selain itu pula sosok intelektual Al-Faruqi menjadi guru besar tamu di berbagai Negara, sperti di Universitas Mindano City, Filipina. Universitas Qum, Iran. dan penjadi perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Sosok Al-Faruqi yang dikenal dengan konsepnya yang sangat terkenal yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan(Integrasi Sains dan Agama) telah banyak melahirkan teori dan konsep untuk dijadikan sebagai penguat. Sehingga banyak dituangkan dalam berbagai tulisan. Selain itu, Konsepnya menjadi latar belakang berdirinya Institusi Pengkajian Islam dengan mendirikan IIT pada tahun 1968(tercatat tahun 1980) di Amerika Serikat, dan memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.[13] Pemikiran Al-Faruqi yang menimbulkan pro-kontra dikalangan ilmuan island an barat. Karena hal itu kemudian dia menganggap dengan ITT tidak cukup, maka didirikanlah pula The Association of Muslim Social Scientist pada tahun 1972. Kedua lembaga Internasional yang didirikan tersebut menerbitkan jurnal Amerika tentang ilmu-ilmu sosial islam.
2. Karya-Karya Al-Faruqi
Dari sekian banyak pergulatan intelektualnya yang mendunia, sangatlah wajar jika Al-Faruqi dengan proyek Islamisasi Ilmu Pengetahan, telah banyak mengahasilkan karya ilmiah, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalh. Selama kehidupannya yang sangat professional berlangsung hampir 30 tahun, Dia menulis, menyunting, dan menerjemah 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari 100 artikel, menjadi guru besar(tamu) di berbagai universitas lebih dari23 universitas di Afrika, Eropa, Timur Tengah, Asia selatan dan tenggara, dan duduk di dewan redaksi tujuh jurnal besar. Beberapa karya intelektualnya :
a) Al Tauhid: It is Implication for Thought and life(1982) yang terdiri13 bab.
Dalam karyanya ini, Al-Faruqi mengenalkan pandangannya bahwa tauhid harus menjadi inti dalam segala sendi kehidupan manusia serta menganalisis secara tajam dan meyakinkan bahwa tauhid dapat menjadi prinsip atau dasar dari segala kajian manusia.
b) Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982)
Dalam karangannya dia menawarkan konsep kerja islamisasi ilmu pengetahuan.
c) Cristian Ethics, Trioluge of Abraham Faiths
Berhubungan dengan konsep-konsep perbandingan agama dengan tiga pandangan pokoknya. Pertama, tiga agama saling memandang. Kedua, konsep tiga agama(Islam, Yahudi, Kristen) tentang Negara dan bangsa. Ketiga, konsep tiga agama tentang keadilan dan perdamaian.
d) The life of Muhammad
Pembahasan tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Pada tahun 1973 pertama kali diterbitkan.
e) Particularisme in the old Testment and Contemperary in Judaism (1963)
f) The Culture Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam)
Buku ini menggambarkan peta peradaban dan kultur islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Buku ini digarap bersama istrinya.Lamya.
g) The Great Asian Religion (1969)
Karya-karya yang sangat terlihat konsistensinya berdasar atas Tauhid sebagai nilai esensi Islam. Melalui ini bagi Al-Faruqi peradaban dan pendidikan islam akan berkembang.
h) Islam and Culture (Islam dan Budaya)
i) A Historical of the Religion of the World (Atlas Historis Agama Dunia)
C. Pemikiran Isma’il Raji Al-Faruqi.
Mengenal Isma’il Raji Al-Faruqi tidaklah cukup hanya biografinya saja, melainkan hal yang lebih urgen adalah mengetahui sepak terjang atau pemikirannya yang kerap kali menjadi karakteristik seorang tokoh dalam pergulatan Agama, politik, ilmu pengetahuan. Menguraikan pemikiran sosok intelektual Al-Faruqi tidak akan pernah terlepas dari konsep yang dikemukakan olehnya yaitu Tauhid dan Islamisasi Ilmu pengetahuan, politik. AL-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
1. Tauhid
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban[14].
Prinsip pertama. Tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu
berarti bahwa realitas bersifat handa(Sahabat) yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua. Tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti
bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga. Tauhid adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semeta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat. Tauhid adalah sebuah anggapan bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya[15].
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981-1982, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah " desekularisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dengan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya mengiluminasi unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi ideologi, makna serta ungkapan sekuler(Pemisahan Ilmu dan Sumbernya)
Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid. Hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ide dan teologi. Dalam keyakin Al-Faruqi, Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu pengetahuan. Karena, menrutnya ilmu pengetahuan segalanya bersumber dari nash Al-Qur’an dan Hadits. “Bukan seperti sekaran, saat dunia barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tidak lain karena ada pemisahan antara Ilmu pengetahun dan Agama”.[16] Begitulah pendapatnya. pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Semangat ilmuan moderen (Barat) di bangun dengan fakta-fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai nilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian muandul, ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika. Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, kesatuan agama, dan kesatuan sejarah[17]. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu menyatu dengan umat manusia, dan penyatuan umat manusia dan penciptaan alam semesta ini sehingga kepada manusia, islam dan ilmu kembali ditemukan kebersatuan dan ditemukan akar pemisahnya.
Dengan beberapa fenomena yang terjadi dikalangan umat islam yang mengalami problema serius mengenai lepasnya ilmu pengetahuan dari induknya. Al-Faruqi merasa sangat penting untuk bergerak untuk memberikan konsep penyatuan kembali dengan menawarkan konsep “ The unity oh Knowledge”.
Al-Faruqi semakin menegaskan secara jelas bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau proses pengklarifikasian ilmu dan agama, sebagaiman yang telah disinyalir diatas dengan tujuan memberikan kebersatuan ilmu dan agama secara hakiki.
Menurut Al-Faruqi, Islamisasi sains harus merujuk kepada tiga sumbu tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan sejarah. kesatuan pengetahuan berkaitan dengan integrasi sains(Aqli) dan agama(Naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang mengacu kepada tujuan penciptaan, sehingga menyatunya ilmu pengetahuan dengan nilai, yaitu nilai ketuhanan- Roh ilmu pengetahuan. Kesatuan sejarah melingkupi kesatuan disiplin ilmu dengan mengarahkan sifat keummatan dan tujuan-tujuan ummah sesuai sejarah.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin modern
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern.
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa
tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut.
Petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Integrasi ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan peniruan metode-metode dari idea-idea barat sekuler dalam sistem yang didesekulerkan. Dengan perpaduan kedua sistem pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistem Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan modern akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistiem Islam.
Kedua, Menurut Al-Faruqi, gagasan islamisasi sains harus diikuti pelajaran wajib mengenai kebudayaan islam sebagai bagian dari program studi mahasiswa. Hal ini akan membuat mereka semakin yakin bahwa agama adalah warisan mereka. Juga mampu membantu mereka menaruh kepercayaan pada diri sendiri sehingga dapat mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di era modern hingga sampai pada tujuan yang ditetapkan Allah SWT.
Ketiga, Memperbaiki Metodologi, sesungguhnya, ilmu-ilmu barat telah melanggar salah satu syarat yang krusial dari metodologi islam, yaitu kesatuan kebenaran. Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya sebagai berikut.[18]
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmuilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalahmasalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam[19].
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.[20] Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.
Keempat, harus diadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan islamisasi sains dan beberapa rencana strategis, yang pada akhirnya menuangkan kembali semua khazanah pengetahuan barat terhadap islam. Bagi Isma’il Raji Al-Faruqi diperlukan alat bantu yang lain dalam pertemuan ini, yaitu melalui konfrensi dan seminar yang mendatangkan para ahli dalam berbagai bidang. Selain itu, juga melakukan lokakarya dan pembinaan[21]. Lebih gamblang bahwa islamisasi ini adalah sintesis kreatif ilmu-ilmu islam klasik dengan ilmu-ilmu islam kontemporer atau modern.
3. Politik
Pemikiran AI-Faruqi yang menarik untuk dikaji dalam bidang politik pertama adalah idenya mengenai negara dan Islam(Pan-Islamisme)dan yang kedua sikapnya terhadap zionis Israel.
a) Pandangan Al-Faruqi tentang Khilafah
Ø Universalisme
Ø Kedaulatan
Ø Kebebasan
Ø Integritas(Ke-Menyeluruh)
b) Pandangan AI-Faruqi Tentang Zionis.
4. Analsis Kritis dan Kontekstualisasi Pemikiran Al-Faruqi
Memahami peta pemikiran seorang tokoh tentu tidak lepas dari latar belakang sosial dan nuansa kultural yang dimilikinya. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa keberadan tokoh secara geografis dan sosilogis semisal permukiman yang tersebar membentuk kelompok-kelompok akan mempengaruhi perubahan fisik dan komunikasi sosial.[22]
Perjalanan hidup Al-Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya akan dirinya sehingga membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan dan kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi cara berpikir Al-Faruqi. Misalnya ketika Al-Faruqi menempuk pendidikan di Al-Azhar, Kairo.
Menurut Kafrawi Ridwan, Penjelajahan intelektual Al-Faruqi kental dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani, dan ifrani. Urainnya pertama, corak pemikirannya yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab, yaitu ketika dia intens di Pakistan. Kedua, corak pemikirannya yang bersifat burhani mencerminkan pengalamannya, karena dia pernah mendalami tentang ilmu filsafat. Ketiga, corak pemikirannya yang bersifat Irfani mencerminkan kehidupannya ketika di Amerika Serikat yang mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan[23].
5. Konsep Pendidikan Menurut Ismai’il Raji Al-Faruqi
Sekitar dasawarsa 80-an masyarakat dunia- terutama islam- dikejutkan oleh gagasan Isma’il Raji Al-Faruqi tentang konsep the unity of knowledge. Ide ini terkesan radikal karena menyentuh terdalam dari kesadaran keimanan umat islam, sekaligus menawarkan paradigm tauhid dalam rangka membangun sistem dan struktur ilmu pengetahuan yang berdasarkan asas dan paradigma islam. Gagasan demikian berangkat dari asumsi bahwa semakin dalam penetrasi filsafat barat terhadap bengunan umat islam yang menurutnya keilmuan barat banyak memiliki kerancuan jika dihadapkan dengan wacana aksiologis islam. Semakin dalam filsafat keilmuan barat melebur dalam keilmuan islam menyebabkan kaum muslim terjebak pada inferioritas dan hampir semua universitas kaum muslim memiliki standard rendah dan selalu bergantung pada keilmuan barat[24].
6. Integrasi Sains dan Agama
1. Al Qur’an Mengajak Berpikir
Konsep umum sebagai wacana awal adalah kerangka ilmu dan pencapaiannya yang sangat dialektis mengungkapkan ilmu merupakan hasil kreatifitas dari kinerja otak yang dibuktikan dengan percobaan-percobaan sehingga melahirkan sebuah konklusi yang sistematis. Salah satu sumber acuan sempurna keilmuan adalah Al- Qur’an. Al-Qur’an adalah milik pemeluk agama Islam yang berupa kitab yang diturunkan kepada Nabi terakhir. Al qur’an secara perspektif tidak pernah menentang akal, melaikan men-back up dalam berbagai bentuk seruan Al qur’an untuk berpikir. Al Qur’an mempercayai upaya mencapai titik rasional keilmuan maupun rasional ke-Tuhanan tidak hanya kepada para audiensinya di sejumlah tempat, khususnya yang berkenaan dengan tema –tema ketuhanan, kenabian, dan hari pembalasan namun Al-Qur’an juga menyuguhkan pembuktian rasional. Tentang tauhid, misalnya, Allah berfirman,
Yang artinya ; Dan kiranya dilangit dan dibumi ada tuhan-tuhan selain Allah, sudah tentu keduanya akan hancur binasa (QS Al-Anbiya’ [21]: 22). Ayat ini sungguh sangat jelas menuntut manusia bepikir sekaligus memberikan pemahaman atas keteraturan alam semesta bahwa disitu terdapat bukti rasional dalam bentuk keteraturan alam terdapat ultimate reality. Namun sangat disayangkan, kalangan pemikir konservatif kerap kali menajamkan perbedaan antara logika Al qur’an adalah keyakinan yang sama sekali tidak mengandung unsur filsafat sebagai induk keilmuan dengan logika yunani yaitu filsafat itu sendiri, dan memperkenalkan argumentasi rasional versi Al- Qur’an sui generis, sangat istimewa dan benar-benar berbeda. Sifat ini lebih dipicu oleh kekawatiran mereka terhadap sifat Al-Qur’an yang akan menjadi sebuah keilmuan formal bukan pedoman dan ajaran yang memuat keyakinan.
2. Proses Transformasi Keilmuan
Transformasi keilmuan bermula dari proses perpaduan pemikiran di jejaring sosial manusia yang melahirkan varian bahasa dan dialektika manusia dan alam dalam bentuk interaksi dan kontemplasi dalam metode deduktif maupun induktif dalam proses pencapaian keilmuan. Keilmuan mengalir menuju titik dominasi dalam teoritis maupun praktis melahirkan konsep berbeda, penafsiran berbeda, kesimpulan berbeda. Terbentuknya konsep dalam satuan sistem keilmuan kemudian mampu memberikan sumbangsi jelas terhadap peralihan dan masuknya ilmu terhadap keilmuan lainnya dalam hubungan. keterkaitan ilmu satu dengan yang lainnya bisa dikatakan memiliki hubungan dan mengandung persamaan, dan dari persamaan iniliah kemudian cendrung memberikan pengartian bahwa satu ilmu dengan yang lainnya sama atau satu.
Semenjak ilmu pengetahuan berkembang terus menerus bergulir seiring waktu, maka kemajuan daya piker manusia juga semakin tertantang untuk semakin kreatif dan lebih bervariasi dengan konsep umum dan khusus tentang keilmuan, semakin memisahkan sebuah persamaan dengan detail dan semakin memberikan perbedaan fungsi dan struktur keilmuan dengan metode analisis detail. Pada point inilah kemudian timbul persepsi bahwa ilmu dan agama perlu di integrasikan, padahal pada hakikatnya ilmu dan agama adalah satu tetapi hanya sudut pandang keilmuan dan agama yang sering diartikan memiliki kapita selekta tersendiri membentuk sebuah perbedaan. Hal itu hanya sebuah reduksi pendapat tentang esensi dan substansial ilmu dan sumber ilmu yang seharusnya dalam hubungannya harus diakatakan sebuah kesatuan.
3. Rekonstruksi Keilmuan Menuju Esensinya
Merekonstruksi diartkan sebagai peroses pengembalian suatu hal atau kedudukan pada tempat dan temperatur yang melahirkan teori semula. Menyikapi dengan nalar kritis tidaklah hal mudah dalam mengembalikan dan menetapkan sebuah hal yang telah pasti dalam hipotesis yang sifatnya hanya perspektif belaka. Hal ini sesulit selayaknya menentang arus searah yang sudah damai dan memberikan kedamain terhadap yang yang telah terbiasa. Menginstalasi ulang pemahaman menuju fitrah atau asal muasal sumber keilmuan memang benar berasal dari Al-Qur’an. Al-Qur’an mampu memposisikan dirinya sebagai sumber tertulis yang sempurna dari kitab-kitab yang sebelumnya. sebagaimana Firman Allah Dalam Al-qur’an tentang Al-qur’an itu sendiri “ tidak ada satu hal pun yang dialpakan dalam Al-Qur’an “. Ungkapan ini sebenarnya lebih mengacu terhadap ke universalan Al-Qur’an sebagai sumber ajaran yang lengkap dan memberikan sebuah penrnyataan integritas terhadap kewajiban untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an mampu memenuhi dan menjadi esensi yang telah terdegradasi oleh kemajuan ilmu.
Laju perkembangan pemikiran islam terus berkembang sampai pada periode kontemporer dengan corak dan karakteristik pemikirannya yang cendrung pada upaya pencarian solusi problem epistemologi dan sistem pendidikan yang dialami oleh umat islam dalam hubungannya yang terhegemoni oleh dunia keilmuan barat. Salah satu corek pemikiran era kontemporer ialah mencoba menyingkap ulang persoalan khazanah pemikiran Islam klasik. Dalam hal ini sebagaiman upaya yang dikemukakan oleh tokoh besar Muslim bernama Ismail Raji Al-Faruqi dengan gagasannya yang sangat terkenal yaitu Islamisasi Sains(Unity of knowledge)
Untuk melacak biografi Isma’il Raji Al-Faruqi, tidaklah terlalu sulit, utamanya dalam hal kelahiran dan kematiannya, karena beliau seorang tokoh yang masih cukup hangat dan termasuk tokoh kontemporer, sehingga data-data tentang kehidupan Isma’il Raji Al-Faruqi masih dapat direkam dengan baik. Hampir semua Sumber sepakat bahwa Al-Faruqi dilahirkan di Jaffa(Yaifa), Palestina, pada tahun 1921 tanggal 1 januari dan meninggal dengan usia 65 tahun yaitu meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 bertepatan dengan tanggal 18 Ramadlan 1406 H. Ayahnya adalah seorang qadi terpandang di palestina bernama Abdul Huda Al-Faruqi.
Meskipun Al-Faruqi dilahirkan di palestina yang mayoritas Negara Islam, pendidikan dan pengalaman studinya sebagian besar didapatkan di barat. Hal ini disebabkan konflik Israel dan Palestina yang berkepanjangan yang kemudian menjadi penyebab Al-faruqi menghabiskan masa belajarnya di barat[10].
Setelah dia menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya palestina, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres di Libanon yang diawali pada tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Kemudian, pada 1941, Al-Faruqi melanjutkan pendidikannya di The American University of Beirut, dengan mengambil kajian filsafat sampai meraih gelar sarjana muda(Bachelor of Art) pada tahun 1941.[11].
Setelah lulus sarjana Al-Faruqi kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdi sebagai pegawai pemerintah palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun. Dan kemudian diangkat menjadi Gubernur Galilea. Namun jabatan yang dia pimpin ternyata merupakan jabatan pertama dan terakhir dalam sejarah palestina sejak tahun 1947 provinsi yang dipimpin oleh Al-Faruqi jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat Al-Faruqi kemudian pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al-Faruqi menggeluti bidang akademis dan persoalan keilmuan. Hal ini mendorong Al-Faruqi untuk melanjutkan studinya. Selain itu, kultur masyarakat barat yang cendrung tidak rasialis dan condong deskriminatif memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademisnya sehingga gelar master pertamanya di bidang filsafat, diperoleh di Indiana University, AS. pada 1949. Dan Al-Faruqi berhasil meraih gelar master keduanya (Master of art) dari Universitas Harvard, dengan judul tesisnya “on justifying the good: Metaphysic and Epistemology of value(tentang pembenaran kebaikan: Metafisika dan Epistemologi ilmu)[12]. dan selanjutnya selama 4 tahun dia menekuni studi keislaman di Universtas Al-Azhar, Kairo. Setelah Usai studinya di Al-Azhar, Al-Faruqi sudah mulai banyak berkiprah.
Dengan Intelektual yang tinggi, Al-Faruqi meneruskan perjuangannya dalam bidang akademis dengan mengabdikan dirinya menjadi pengajar di Universitas McGill University of kanada selama dua tahun yaitu pada tahun 1959-1961. Pada tahun 1962, Al-Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan. Disana Al-Faruqi terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research. Setahun setelahnya pada 1963, Al-Faruqi kembali ke AS dan mulai mengajar kuliah di fakultas agama Universitas Chicago yaitu sebagai lektor kepala agama islam pada tahun 1966-1968 , dan kemudian pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. pada tahun 1968, dia pindah ke Universitas Temple. Philadelphia , sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di Institusi disana.
Selain Al-Faruqi juga pernah mendalami tentang Judaisme dan Kristen, juga aktif mengikuti kajian tentang Islam di berbagai Negara sperti, Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya dan Arab Saudi. Selain itu pula sosok intelektual Al-Faruqi menjadi guru besar tamu di berbagai Negara, sperti di Universitas Mindano City, Filipina. Universitas Qum, Iran. dan penjadi perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Sosok Al-Faruqi yang dikenal dengan konsepnya yang sangat terkenal yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan(Integrasi Sains dan Agama) telah banyak melahirkan teori dan konsep untuk dijadikan sebagai penguat. Sehingga banyak dituangkan dalam berbagai tulisan. Selain itu, Konsepnya menjadi latar belakang berdirinya Institusi Pengkajian Islam dengan mendirikan IIT pada tahun 1968(tercatat tahun 1980) di Amerika Serikat, dan memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.[13] Pemikiran Al-Faruqi yang menimbulkan pro-kontra dikalangan ilmuan island an barat. Karena hal itu kemudian dia menganggap dengan ITT tidak cukup, maka didirikanlah pula The Association of Muslim Social Scientist pada tahun 1972. Kedua lembaga Internasional yang didirikan tersebut menerbitkan jurnal Amerika tentang ilmu-ilmu sosial islam.
2. Karya-Karya Al-Faruqi
Dari sekian banyak pergulatan intelektualnya yang mendunia, sangatlah wajar jika Al-Faruqi dengan proyek Islamisasi Ilmu Pengetahan, telah banyak mengahasilkan karya ilmiah, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalh. Selama kehidupannya yang sangat professional berlangsung hampir 30 tahun, Dia menulis, menyunting, dan menerjemah 25 judul buku, mempublikasikan lebih dari 100 artikel, menjadi guru besar(tamu) di berbagai universitas lebih dari23 universitas di Afrika, Eropa, Timur Tengah, Asia selatan dan tenggara, dan duduk di dewan redaksi tujuh jurnal besar. Beberapa karya intelektualnya :
a) Al Tauhid: It is Implication for Thought and life(1982) yang terdiri13 bab.
Dalam karyanya ini, Al-Faruqi mengenalkan pandangannya bahwa tauhid harus menjadi inti dalam segala sendi kehidupan manusia serta menganalisis secara tajam dan meyakinkan bahwa tauhid dapat menjadi prinsip atau dasar dari segala kajian manusia.
b) Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982)
Dalam karangannya dia menawarkan konsep kerja islamisasi ilmu pengetahuan.
c) Cristian Ethics, Trioluge of Abraham Faiths
Berhubungan dengan konsep-konsep perbandingan agama dengan tiga pandangan pokoknya. Pertama, tiga agama saling memandang. Kedua, konsep tiga agama(Islam, Yahudi, Kristen) tentang Negara dan bangsa. Ketiga, konsep tiga agama tentang keadilan dan perdamaian.
d) The life of Muhammad
Pembahasan tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Pada tahun 1973 pertama kali diterbitkan.
e) Particularisme in the old Testment and Contemperary in Judaism (1963)
f) The Culture Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam)
Buku ini menggambarkan peta peradaban dan kultur islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Buku ini digarap bersama istrinya.Lamya.
g) The Great Asian Religion (1969)
Karya-karya yang sangat terlihat konsistensinya berdasar atas Tauhid sebagai nilai esensi Islam. Melalui ini bagi Al-Faruqi peradaban dan pendidikan islam akan berkembang.
h) Islam and Culture (Islam dan Budaya)
i) A Historical of the Religion of the World (Atlas Historis Agama Dunia)
C. Pemikiran Isma’il Raji Al-Faruqi.
Mengenal Isma’il Raji Al-Faruqi tidaklah cukup hanya biografinya saja, melainkan hal yang lebih urgen adalah mengetahui sepak terjang atau pemikirannya yang kerap kali menjadi karakteristik seorang tokoh dalam pergulatan Agama, politik, ilmu pengetahuan. Menguraikan pemikiran sosok intelektual Al-Faruqi tidak akan pernah terlepas dari konsep yang dikemukakan olehnya yaitu Tauhid dan Islamisasi Ilmu pengetahuan, politik. AL-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
1. Tauhid
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban[14].
Prinsip pertama. Tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu
berarti bahwa realitas bersifat handa(Sahabat) yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua. Tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti
bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga. Tauhid adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semeta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat. Tauhid adalah sebuah anggapan bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya[15].
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981-1982, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah " desekularisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dengan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya mengiluminasi unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi ideologi, makna serta ungkapan sekuler(Pemisahan Ilmu dan Sumbernya)
Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid. Hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ide dan teologi. Dalam keyakin Al-Faruqi, Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu pengetahuan. Karena, menrutnya ilmu pengetahuan segalanya bersumber dari nash Al-Qur’an dan Hadits. “Bukan seperti sekaran, saat dunia barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tidak lain karena ada pemisahan antara Ilmu pengetahun dan Agama”.[16] Begitulah pendapatnya. pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Semangat ilmuan moderen (Barat) di bangun dengan fakta-fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai nilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian muandul, ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika. Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, kesatuan agama, dan kesatuan sejarah[17]. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu menyatu dengan umat manusia, dan penyatuan umat manusia dan penciptaan alam semesta ini sehingga kepada manusia, islam dan ilmu kembali ditemukan kebersatuan dan ditemukan akar pemisahnya.
Dengan beberapa fenomena yang terjadi dikalangan umat islam yang mengalami problema serius mengenai lepasnya ilmu pengetahuan dari induknya. Al-Faruqi merasa sangat penting untuk bergerak untuk memberikan konsep penyatuan kembali dengan menawarkan konsep “ The unity oh Knowledge”.
Al-Faruqi semakin menegaskan secara jelas bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau proses pengklarifikasian ilmu dan agama, sebagaiman yang telah disinyalir diatas dengan tujuan memberikan kebersatuan ilmu dan agama secara hakiki.
Menurut Al-Faruqi, Islamisasi sains harus merujuk kepada tiga sumbu tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan sejarah. kesatuan pengetahuan berkaitan dengan integrasi sains(Aqli) dan agama(Naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang mengacu kepada tujuan penciptaan, sehingga menyatunya ilmu pengetahuan dengan nilai, yaitu nilai ketuhanan- Roh ilmu pengetahuan. Kesatuan sejarah melingkupi kesatuan disiplin ilmu dengan mengarahkan sifat keummatan dan tujuan-tujuan ummah sesuai sejarah.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin modern
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern.
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa
tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut.
Petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Integrasi ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan peniruan metode-metode dari idea-idea barat sekuler dalam sistem yang didesekulerkan. Dengan perpaduan kedua sistem pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistem Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan modern akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistiem Islam.
Kedua, Menurut Al-Faruqi, gagasan islamisasi sains harus diikuti pelajaran wajib mengenai kebudayaan islam sebagai bagian dari program studi mahasiswa. Hal ini akan membuat mereka semakin yakin bahwa agama adalah warisan mereka. Juga mampu membantu mereka menaruh kepercayaan pada diri sendiri sehingga dapat mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di era modern hingga sampai pada tujuan yang ditetapkan Allah SWT.
Ketiga, Memperbaiki Metodologi, sesungguhnya, ilmu-ilmu barat telah melanggar salah satu syarat yang krusial dari metodologi islam, yaitu kesatuan kebenaran. Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya sebagai berikut.[18]
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmuilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalahmasalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam[19].
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.[20] Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.
Keempat, harus diadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan islamisasi sains dan beberapa rencana strategis, yang pada akhirnya menuangkan kembali semua khazanah pengetahuan barat terhadap islam. Bagi Isma’il Raji Al-Faruqi diperlukan alat bantu yang lain dalam pertemuan ini, yaitu melalui konfrensi dan seminar yang mendatangkan para ahli dalam berbagai bidang. Selain itu, juga melakukan lokakarya dan pembinaan[21]. Lebih gamblang bahwa islamisasi ini adalah sintesis kreatif ilmu-ilmu islam klasik dengan ilmu-ilmu islam kontemporer atau modern.
3. Politik
Pemikiran AI-Faruqi yang menarik untuk dikaji dalam bidang politik pertama adalah idenya mengenai negara dan Islam(Pan-Islamisme)dan yang kedua sikapnya terhadap zionis Israel.
a) Pandangan Al-Faruqi tentang Khilafah
Ø Universalisme
Ø Kedaulatan
Ø Kebebasan
Ø Integritas(Ke-Menyeluruh)
b) Pandangan AI-Faruqi Tentang Zionis.
4. Analsis Kritis dan Kontekstualisasi Pemikiran Al-Faruqi
Memahami peta pemikiran seorang tokoh tentu tidak lepas dari latar belakang sosial dan nuansa kultural yang dimilikinya. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa keberadan tokoh secara geografis dan sosilogis semisal permukiman yang tersebar membentuk kelompok-kelompok akan mempengaruhi perubahan fisik dan komunikasi sosial.[22]
Perjalanan hidup Al-Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya akan dirinya sehingga membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan dan kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi cara berpikir Al-Faruqi. Misalnya ketika Al-Faruqi menempuk pendidikan di Al-Azhar, Kairo.
Menurut Kafrawi Ridwan, Penjelajahan intelektual Al-Faruqi kental dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani, dan ifrani. Urainnya pertama, corak pemikirannya yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab, yaitu ketika dia intens di Pakistan. Kedua, corak pemikirannya yang bersifat burhani mencerminkan pengalamannya, karena dia pernah mendalami tentang ilmu filsafat. Ketiga, corak pemikirannya yang bersifat Irfani mencerminkan kehidupannya ketika di Amerika Serikat yang mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan[23].
5. Konsep Pendidikan Menurut Ismai’il Raji Al-Faruqi
Sekitar dasawarsa 80-an masyarakat dunia- terutama islam- dikejutkan oleh gagasan Isma’il Raji Al-Faruqi tentang konsep the unity of knowledge. Ide ini terkesan radikal karena menyentuh terdalam dari kesadaran keimanan umat islam, sekaligus menawarkan paradigm tauhid dalam rangka membangun sistem dan struktur ilmu pengetahuan yang berdasarkan asas dan paradigma islam. Gagasan demikian berangkat dari asumsi bahwa semakin dalam penetrasi filsafat barat terhadap bengunan umat islam yang menurutnya keilmuan barat banyak memiliki kerancuan jika dihadapkan dengan wacana aksiologis islam. Semakin dalam filsafat keilmuan barat melebur dalam keilmuan islam menyebabkan kaum muslim terjebak pada inferioritas dan hampir semua universitas kaum muslim memiliki standard rendah dan selalu bergantung pada keilmuan barat[24].
6. Integrasi Sains dan Agama
1. Al Qur’an Mengajak Berpikir
Konsep umum sebagai wacana awal adalah kerangka ilmu dan pencapaiannya yang sangat dialektis mengungkapkan ilmu merupakan hasil kreatifitas dari kinerja otak yang dibuktikan dengan percobaan-percobaan sehingga melahirkan sebuah konklusi yang sistematis. Salah satu sumber acuan sempurna keilmuan adalah Al- Qur’an. Al-Qur’an adalah milik pemeluk agama Islam yang berupa kitab yang diturunkan kepada Nabi terakhir. Al qur’an secara perspektif tidak pernah menentang akal, melaikan men-back up dalam berbagai bentuk seruan Al qur’an untuk berpikir. Al Qur’an mempercayai upaya mencapai titik rasional keilmuan maupun rasional ke-Tuhanan tidak hanya kepada para audiensinya di sejumlah tempat, khususnya yang berkenaan dengan tema –tema ketuhanan, kenabian, dan hari pembalasan namun Al-Qur’an juga menyuguhkan pembuktian rasional. Tentang tauhid, misalnya, Allah berfirman,
Yang artinya ; Dan kiranya dilangit dan dibumi ada tuhan-tuhan selain Allah, sudah tentu keduanya akan hancur binasa (QS Al-Anbiya’ [21]: 22). Ayat ini sungguh sangat jelas menuntut manusia bepikir sekaligus memberikan pemahaman atas keteraturan alam semesta bahwa disitu terdapat bukti rasional dalam bentuk keteraturan alam terdapat ultimate reality. Namun sangat disayangkan, kalangan pemikir konservatif kerap kali menajamkan perbedaan antara logika Al qur’an adalah keyakinan yang sama sekali tidak mengandung unsur filsafat sebagai induk keilmuan dengan logika yunani yaitu filsafat itu sendiri, dan memperkenalkan argumentasi rasional versi Al- Qur’an sui generis, sangat istimewa dan benar-benar berbeda. Sifat ini lebih dipicu oleh kekawatiran mereka terhadap sifat Al-Qur’an yang akan menjadi sebuah keilmuan formal bukan pedoman dan ajaran yang memuat keyakinan.
2. Proses Transformasi Keilmuan
Transformasi keilmuan bermula dari proses perpaduan pemikiran di jejaring sosial manusia yang melahirkan varian bahasa dan dialektika manusia dan alam dalam bentuk interaksi dan kontemplasi dalam metode deduktif maupun induktif dalam proses pencapaian keilmuan. Keilmuan mengalir menuju titik dominasi dalam teoritis maupun praktis melahirkan konsep berbeda, penafsiran berbeda, kesimpulan berbeda. Terbentuknya konsep dalam satuan sistem keilmuan kemudian mampu memberikan sumbangsi jelas terhadap peralihan dan masuknya ilmu terhadap keilmuan lainnya dalam hubungan. keterkaitan ilmu satu dengan yang lainnya bisa dikatakan memiliki hubungan dan mengandung persamaan, dan dari persamaan iniliah kemudian cendrung memberikan pengartian bahwa satu ilmu dengan yang lainnya sama atau satu.
Semenjak ilmu pengetahuan berkembang terus menerus bergulir seiring waktu, maka kemajuan daya piker manusia juga semakin tertantang untuk semakin kreatif dan lebih bervariasi dengan konsep umum dan khusus tentang keilmuan, semakin memisahkan sebuah persamaan dengan detail dan semakin memberikan perbedaan fungsi dan struktur keilmuan dengan metode analisis detail. Pada point inilah kemudian timbul persepsi bahwa ilmu dan agama perlu di integrasikan, padahal pada hakikatnya ilmu dan agama adalah satu tetapi hanya sudut pandang keilmuan dan agama yang sering diartikan memiliki kapita selekta tersendiri membentuk sebuah perbedaan. Hal itu hanya sebuah reduksi pendapat tentang esensi dan substansial ilmu dan sumber ilmu yang seharusnya dalam hubungannya harus diakatakan sebuah kesatuan.
3. Rekonstruksi Keilmuan Menuju Esensinya
Merekonstruksi diartkan sebagai peroses pengembalian suatu hal atau kedudukan pada tempat dan temperatur yang melahirkan teori semula. Menyikapi dengan nalar kritis tidaklah hal mudah dalam mengembalikan dan menetapkan sebuah hal yang telah pasti dalam hipotesis yang sifatnya hanya perspektif belaka. Hal ini sesulit selayaknya menentang arus searah yang sudah damai dan memberikan kedamain terhadap yang yang telah terbiasa. Menginstalasi ulang pemahaman menuju fitrah atau asal muasal sumber keilmuan memang benar berasal dari Al-Qur’an. Al-Qur’an mampu memposisikan dirinya sebagai sumber tertulis yang sempurna dari kitab-kitab yang sebelumnya. sebagaimana Firman Allah Dalam Al-qur’an tentang Al-qur’an itu sendiri “ tidak ada satu hal pun yang dialpakan dalam Al-Qur’an “. Ungkapan ini sebenarnya lebih mengacu terhadap ke universalan Al-Qur’an sebagai sumber ajaran yang lengkap dan memberikan sebuah penrnyataan integritas terhadap kewajiban untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an mampu memenuhi dan menjadi esensi yang telah terdegradasi oleh kemajuan ilmu.
Membahas tentang sains adalah sebuah peningkatan drajat sesuai dengan yang Allah janjikan, karena yang kita rasa juga sains adalah penunjang terhadap kemajuan bangsa dan Negara dan secara tidak langsung mengajari sikap patriotisme kepada manusia, dan telah ada sebenarnya keinginan untuk menjadi pengabdi terhadap Negara. Sains diartikan secara leksikal merupakan sebuah bidang keilmuan yang memilki sistematika tentang alam dan dunia fisik lainnya atau pengetahuan sistematis yang diperoleh dari hasil observasi dan penilitian yang mengacu pada penentuan perinsip dasar dari objek yang diselidiki. Dalam karya Archie J. Bahm “what is science “ bahwa keilmuan memiliki enam komponen dari rancang bangunan ilmu Secara general kesemuanya dikatakan ilmu pengetahuan yaitu Adanya masalah, Adanya sifat dari keilmuan, Adanya Metode Ilmiah, Adanya aktivitas, Adanya kesimpulan dan Adanya pengaruh. Ilmu pengetahuan merupakan komponen termahal dan tertinggi dalam tatanan kehidupan. Tidak ada satupun bantahan yang menentang terhadap pentingnya ilmu pengetahuan.
Semakin jauh melangkah maka semakin jauh ilmu semakin meragukan terhadap para penuntut ilmu, bertanya tentang asal muasal keilmuan yang sedang dinikmati dengan mudah saat ini seperti biologi yang mengkaji tentang struktur kehidupan dari biologisnya, fisika yang mengkaji tentang zat dan energi, dan matematika yang mengkaji tentang bilangan dan hubungannya, telah sampailah kita sebenarnya pada era enjoyable world dimana semua tinggal dinikmati saja, dipakai, dirusak, dibuang, hal ini membuat kita terbuai dan lupa melihat sumber dari adanya hal ini yang secara turun temurun diajarkan dari pencetusnya selama berabad abad hingga sampai pada era praktis. Dalam bidang ilmu ini Al Qur’an banyak mengambil alih dan ikut serta berpandangan bahwa ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul dari sepesis lainnya dimuka bumi. Mengenai sumber dari pengetahuan Allah SWT berfirman dalam surat Al baqarah [2] ayat 31 dan 32 yang artinya :
Dan Dia (Allah ) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya, kemudian dia mengemukakannya kepada para malaikat saraya berfirman “ sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda-benda (menurut dugaanmu), “mereka menjawab(malaikat) menjawab “ Maha suci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkauajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengatahui dan Maha Bijaksana. “. Telah jelas terjawab pertanyaan tentang sumber keilmuan yang ada pada hakikatnya. Bila agama islam telah Allah benarkan dan sempurnakan maka telah jelas Ilmu dan agama islam bukan lagi hal yang harus diintegrasikan melalui wadah pemahaman yang berulang – ulang karena keduanya telah menyatu dan tidak pernah terpisahkan.
Ilmu terbagi dua bagian yang secara garis besar objek kajiannya meliputi Alam materi dan Alam non materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pada pandangan materi.[25] Memasuki ranah materi menuntut kita untuk kembali menulusuri banyak tentang ayat –ayat Al –Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Survey ulama’ mengatakan ada 750 ayat yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya dan yang menuntut manusia untuk mendalami ini semua adalah secara tegas dan berulang ulang Al Qur’an menyatakan bahwa Alam raya diciptakan dan dan ditundukkan Allah untuk manusia. Sebagaimana Firman-Nya yang artinya :
Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya(sebagai anugrah) dariNya.(Al-Qur’an Al –Jatsiyah [45]: 13).
Penundukan tersebut sebenarnya merupakan hukum alam yang ditetapkan Allah dan disubjeki langsung oleh manusia sebagaimana ciri-cirinya adalah pernyataan yang mengatakan bahwa ;
Segala sesuatu yang ada disisiNya memiliki ukuran (Qs Al – Ra’ad [13]: 8).
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput hijau subur dan kemudian kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt, hanya sekarang menuntut kita bagaimana kita berfikir dan mencermatinya sehingga kemudian lahirlah sebuah bidang keilmuan yang diteliti secar pasti dan sistematis.
Bentuk pengajaran ilmu pengetahuan telah diajarkan pada masa adam sebagai manusia pertama dijagad raya ini, hal yang sedemikian berarti bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui tentang gejala fenomenal dan rahasia alam. Dalam surat Ali Imran Ayat[3] 190-191 ;
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda –tanda bagi ulill albab. Yaitu mereka yang berdzikir(mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berfikir tentang kejadian langit dan bumi.
Maksud dari ayat diatas menyatakan bahwa terdapat metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan islam terhadap alam yang transformatif. Ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama dari sekian banyak fungsi lain yang dimilki oleh otak kita.
4. Pendekatan Islam Dalam Keilmuan
Ajaran islam sebagai wahyu berisi tuntunan atau pedoman bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, sistem kepercayaan, sosial masyarakat, dan ilmu pengetahuan. Islam sangat menganjurkan pengembangan pemikiran dan penggunakan akal. Sejak kelahirannya islam sudah menunjukkan wajahnya yang sangat menghargai akal pikiran dan menganjurkan agar digunakan seoptimal mungkin untuk mengetahui dan memahami ciptaan-Nya.[26]
Ajaran yang terdapat dalam islam sangatlah mendorong manusia untuk memahami realitas, sebagaimana FirmanNya yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dengan Al Qur’an mulai dari penciptaan alam sampai pada hal yang menyangkut proses kelahiran manusia melalui pembuahan sel telur oleh sperma dan hal ini disinggung dalam Ilmu biologi yang berkembang sampai saat ini sebagai kajian keilmuan yang telah dijadikan sebagai disiplin ilmu. Salah satu ayat misalkan menyebutkan yang artinya :
“ sesungguhnya dalam pencipitaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit ke bumi berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati(keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh( terdapat) tanda- tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al – Baqarah [2]; 164)
Perkembangan kemajuan sains dan dan tekhnologi pada zaman khalifah islamiyah yang dicapai kaum muslimin dimulai sejak pengalihan pengetahuan yang ada pada filsafat yunani ke lingkungan dunia islam. Sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan masa khalafaurrasyidin ilmu pengetahuan berkembang sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. Salah satu perkembangan ilmu dalam islam salah satunya adalah peristiwa Fitnah al- kubra, yang tidak hanya membawa konsekwensi logis dari segi politis an-sich seperti yang dipahami selama ini. Sehingga kemudian menimbulkan banyak pertentangan dan perbedaan aliran dalam hal teologis, sehingga pada akhirnya menumbuhkan kajian tentang teologi islam lebih sitematis, misalnya tentang masalah hukum, msalah kebebasan manusia dan peranan akal. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan pemikiran mengenai berbagai hal tentang teologi islam dalam ilmu pengetahuan.
Semakin jauh melangkah maka semakin jauh ilmu semakin meragukan terhadap para penuntut ilmu, bertanya tentang asal muasal keilmuan yang sedang dinikmati dengan mudah saat ini seperti biologi yang mengkaji tentang struktur kehidupan dari biologisnya, fisika yang mengkaji tentang zat dan energi, dan matematika yang mengkaji tentang bilangan dan hubungannya, telah sampailah kita sebenarnya pada era enjoyable world dimana semua tinggal dinikmati saja, dipakai, dirusak, dibuang, hal ini membuat kita terbuai dan lupa melihat sumber dari adanya hal ini yang secara turun temurun diajarkan dari pencetusnya selama berabad abad hingga sampai pada era praktis. Dalam bidang ilmu ini Al Qur’an banyak mengambil alih dan ikut serta berpandangan bahwa ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul dari sepesis lainnya dimuka bumi. Mengenai sumber dari pengetahuan Allah SWT berfirman dalam surat Al baqarah [2] ayat 31 dan 32 yang artinya :
Dan Dia (Allah ) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya, kemudian dia mengemukakannya kepada para malaikat saraya berfirman “ sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda-benda (menurut dugaanmu), “mereka menjawab(malaikat) menjawab “ Maha suci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkauajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengatahui dan Maha Bijaksana. “. Telah jelas terjawab pertanyaan tentang sumber keilmuan yang ada pada hakikatnya. Bila agama islam telah Allah benarkan dan sempurnakan maka telah jelas Ilmu dan agama islam bukan lagi hal yang harus diintegrasikan melalui wadah pemahaman yang berulang – ulang karena keduanya telah menyatu dan tidak pernah terpisahkan.
Ilmu terbagi dua bagian yang secara garis besar objek kajiannya meliputi Alam materi dan Alam non materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pada pandangan materi.[25] Memasuki ranah materi menuntut kita untuk kembali menulusuri banyak tentang ayat –ayat Al –Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Survey ulama’ mengatakan ada 750 ayat yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya dan yang menuntut manusia untuk mendalami ini semua adalah secara tegas dan berulang ulang Al Qur’an menyatakan bahwa Alam raya diciptakan dan dan ditundukkan Allah untuk manusia. Sebagaimana Firman-Nya yang artinya :
Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya(sebagai anugrah) dariNya.(Al-Qur’an Al –Jatsiyah [45]: 13).
Penundukan tersebut sebenarnya merupakan hukum alam yang ditetapkan Allah dan disubjeki langsung oleh manusia sebagaimana ciri-cirinya adalah pernyataan yang mengatakan bahwa ;
Segala sesuatu yang ada disisiNya memiliki ukuran (Qs Al – Ra’ad [13]: 8).
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput hijau subur dan kemudian kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt, hanya sekarang menuntut kita bagaimana kita berfikir dan mencermatinya sehingga kemudian lahirlah sebuah bidang keilmuan yang diteliti secar pasti dan sistematis.
Bentuk pengajaran ilmu pengetahuan telah diajarkan pada masa adam sebagai manusia pertama dijagad raya ini, hal yang sedemikian berarti bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui tentang gejala fenomenal dan rahasia alam. Dalam surat Ali Imran Ayat[3] 190-191 ;
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda –tanda bagi ulill albab. Yaitu mereka yang berdzikir(mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berfikir tentang kejadian langit dan bumi.
Maksud dari ayat diatas menyatakan bahwa terdapat metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan islam terhadap alam yang transformatif. Ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama dari sekian banyak fungsi lain yang dimilki oleh otak kita.
4. Pendekatan Islam Dalam Keilmuan
Ajaran islam sebagai wahyu berisi tuntunan atau pedoman bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, sistem kepercayaan, sosial masyarakat, dan ilmu pengetahuan. Islam sangat menganjurkan pengembangan pemikiran dan penggunakan akal. Sejak kelahirannya islam sudah menunjukkan wajahnya yang sangat menghargai akal pikiran dan menganjurkan agar digunakan seoptimal mungkin untuk mengetahui dan memahami ciptaan-Nya.[26]
Ajaran yang terdapat dalam islam sangatlah mendorong manusia untuk memahami realitas, sebagaimana FirmanNya yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dengan Al Qur’an mulai dari penciptaan alam sampai pada hal yang menyangkut proses kelahiran manusia melalui pembuahan sel telur oleh sperma dan hal ini disinggung dalam Ilmu biologi yang berkembang sampai saat ini sebagai kajian keilmuan yang telah dijadikan sebagai disiplin ilmu. Salah satu ayat misalkan menyebutkan yang artinya :
“ sesungguhnya dalam pencipitaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit ke bumi berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati(keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh( terdapat) tanda- tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al – Baqarah [2]; 164)
Perkembangan kemajuan sains dan dan tekhnologi pada zaman khalifah islamiyah yang dicapai kaum muslimin dimulai sejak pengalihan pengetahuan yang ada pada filsafat yunani ke lingkungan dunia islam. Sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan masa khalafaurrasyidin ilmu pengetahuan berkembang sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. Salah satu perkembangan ilmu dalam islam salah satunya adalah peristiwa Fitnah al- kubra, yang tidak hanya membawa konsekwensi logis dari segi politis an-sich seperti yang dipahami selama ini. Sehingga kemudian menimbulkan banyak pertentangan dan perbedaan aliran dalam hal teologis, sehingga pada akhirnya menumbuhkan kajian tentang teologi islam lebih sitematis, misalnya tentang masalah hukum, msalah kebebasan manusia dan peranan akal. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan pemikiran mengenai berbagai hal tentang teologi islam dalam ilmu pengetahuan.
Pendekatan terhadap ilmu pengetahuan hanya sebatas memahami apa yang telah ada dan kemudian membangun sebuah kreatifitas untuk menunjang kebutuhan manusia yang kian hari makin berubah dan meningkat, hal ini juga merupakan bukti perkembangan ilmu pengetahuan. Semakin ilmu berkembang semakin pula otak berpikir, semakin jauh melangkah maka semakin jauh logika mengayuh pemahaman sehingga jauh dan melupakan esensi dan sumber hakikat keilmuan yang ada. Pendekatan pemahaman semacam ini hanya metode sederhana melalui sistem kausalitas sesi –sesi yang mulai terasa oleh para kaum pemikir dan pada waktu yang sama umat islam sendiri mulai menyempitkan keilmuan dengan do’a, melepas usaha menggantinya dengan do’a. Realitas sosial semacam ini sangatlah jelas dan terus berlanjut pada saat ini.
5. Hubungan Al Qur’an Dan Ilmu Pengetahuan
Koneksitas Al-Qur’an dengan Ilmu pengetahuan dari segi esensialnya memerlukan metodologi yang dapat merumuskan integrasi sains dan agama. Konsep korelasi merupakan taktik metodis yang juga akan menformulasikan hubungan keduanya. dalam point ini penulis juga akan menguraikan kekeliruan dalam mengkaitkan dan menghubungkan sumber dan tubuh keilmuan yang kadang salah diartikan. Agama begitu umum untuk ikut andil dalam peradaban keilmuan, maka dari itu Al-Qur’an sebagai unit pokok agama kembali mengambil alih dalam mengkhususkan kapita selektanya. Proses perkembangan ilmu pengetahuan semakin memisahkan wujud esensi dan wujud keilmuan yang ada dikarenakan Al-qur’an dikhawatirkan akan menjadi sumber keilmuan formal tanpa adanya nilai-nilai ajaran yang seharusnya dimiliki oleh agama. Kekhawatiran itu disebabkan perubahan dan perkembangan keilmuan semakin dianggap mendukung terhadap pemisahan esensi dan wujud keilmuan, perkembangan semakin menutup jalan dalam konsep hubungannya sehingga para kaum pemikir konservatif semakin menajamkan sebuah perbedaan mutlak terhadap kemajuan ilmu adalah kajian metodis yang tidak ada sangkut pautnya dengan Al-qur’an.
Dalam konsep Al-Qur’an telah menyatakan kesiapan dan tanggung jawab atas segala kelengkapan yang dijanjikan sebagaiman ayat yang mengatakan “ Tidak ada satu hal pu yang tidak ada dalam Al-Qur’an “ kendatipun kecenderungan para kaum pemikir mengatakan letak integritas keilmuan pada hubungan internal langsung seperti penolakan konsep kausalitas yang ditolak oleh David hume. Namun juga perlu diperhatikan bahwa memang kondisi dan kedudukan ilmu dalam agama memiliki peranan penting disebabkan banyak ungkapan bahwa ilmu adalah derajat yang dijanjikan oleh Allah bagi yang memilikinya. Hal ini begitu sederhana dalam konsep dan teori namun kadang tidak mau diakui bahwa ilmu memang disanjung-sanjung dalam Al-qura’n bahkan langsung mendapatkan apresiasi tinggi dari Tuhan dalam hubungan sosial. Bentuk keberadaan peran dan pengakuan ini merupakan indikasi yang tidak perlu dikaji kembali, melainkan bagaimana titik integritas keduanya semakin jelas.
5. Hubungan Al Qur’an Dan Ilmu Pengetahuan
Koneksitas Al-Qur’an dengan Ilmu pengetahuan dari segi esensialnya memerlukan metodologi yang dapat merumuskan integrasi sains dan agama. Konsep korelasi merupakan taktik metodis yang juga akan menformulasikan hubungan keduanya. dalam point ini penulis juga akan menguraikan kekeliruan dalam mengkaitkan dan menghubungkan sumber dan tubuh keilmuan yang kadang salah diartikan. Agama begitu umum untuk ikut andil dalam peradaban keilmuan, maka dari itu Al-Qur’an sebagai unit pokok agama kembali mengambil alih dalam mengkhususkan kapita selektanya. Proses perkembangan ilmu pengetahuan semakin memisahkan wujud esensi dan wujud keilmuan yang ada dikarenakan Al-qur’an dikhawatirkan akan menjadi sumber keilmuan formal tanpa adanya nilai-nilai ajaran yang seharusnya dimiliki oleh agama. Kekhawatiran itu disebabkan perubahan dan perkembangan keilmuan semakin dianggap mendukung terhadap pemisahan esensi dan wujud keilmuan, perkembangan semakin menutup jalan dalam konsep hubungannya sehingga para kaum pemikir konservatif semakin menajamkan sebuah perbedaan mutlak terhadap kemajuan ilmu adalah kajian metodis yang tidak ada sangkut pautnya dengan Al-qur’an.
Dalam konsep Al-Qur’an telah menyatakan kesiapan dan tanggung jawab atas segala kelengkapan yang dijanjikan sebagaiman ayat yang mengatakan “ Tidak ada satu hal pu yang tidak ada dalam Al-Qur’an “ kendatipun kecenderungan para kaum pemikir mengatakan letak integritas keilmuan pada hubungan internal langsung seperti penolakan konsep kausalitas yang ditolak oleh David hume. Namun juga perlu diperhatikan bahwa memang kondisi dan kedudukan ilmu dalam agama memiliki peranan penting disebabkan banyak ungkapan bahwa ilmu adalah derajat yang dijanjikan oleh Allah bagi yang memilikinya. Hal ini begitu sederhana dalam konsep dan teori namun kadang tidak mau diakui bahwa ilmu memang disanjung-sanjung dalam Al-qura’n bahkan langsung mendapatkan apresiasi tinggi dari Tuhan dalam hubungan sosial. Bentuk keberadaan peran dan pengakuan ini merupakan indikasi yang tidak perlu dikaji kembali, melainkan bagaimana titik integritas keduanya semakin jelas.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai badai kritik dan kecaman. Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal.
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat, ini dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan strategis sekarang, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan.
Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.
Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.
Pemikirannya, ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
"Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama," kilahnya.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan', itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya telah di Indonesiakan).
Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.
Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita 'Islamisasi ilmu pengetahuan
B. Saran-Saran
Islam terdiri dari banyak sisi, terkadang islam dipandang sebagai agama yang mudah untuk dipahami dan dilaksanakan, namun terkadang pula dipahami sebagai agama yang sulit karena rumitnya sebuah pemahaman tentang islam secara menyeluruh. Islam tidak hanya menjadi agama belaka, melainkan juga sumber kajian keilmuan yang lengkap dan komprehensive secara universal maupun partikular.
Filsafat pendidikan islam merupakan kajian tentang bagaiman kita mampu memcari dan memaknai konsep pendidikan yang berdasarkan asas-asas keislaman. Kajian pendidikan ini berorientasi terhadap penguasaan ilmu pengetahuan yang ada dalm islam itu sendiri maupun pengetahuan modern yang kita sebut sains baru-baru ini.
Peralihan mulai deras, peralihan budaya menuju global, klasik menuju modern telah mengikis nilai-nilai islam yang menyatu dengan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam sumber islam yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hal ini sangat cocok dengan konsep islamisasi Isma’il raji Al-Faruqi sebagai metode pemecahan dan penolakan terhadap unvalidasi keilmuan yang kemudian dialihkan menjadi sains.
Umat islam ada pada kemudahan zaman yang semuanya identik dengan metode, gaya, trobosan baru pada era ini, maka setidaknya jangan pernah lupa terhadap pemahaman atau pencarian keterkaitan sains dengan agama yang tidak boleh hilang.
Islamisasi ini bertujuan memberikan sebuah petunjuk bagi para umat islam bahwa ilmu memang tidak boleh terpisah dari agama sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh seorang tokoh “ Sains tanpa agama itu buta, agama tanpa ilmu itu pincang” . Kedudukan keduanya tidak boleh dipisahkan, sebab agama dasar dari kelimuan, sedangkan keilmuan itu sendiri sebagai refleksi agama yang dituangkan dalam bentuk keilmuan sebagai kesejahteraan dan peradaban hidup manusia dimuka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baharun, Hasan dkk. Metodologi Studi Islam: Pecikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2013.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Blukar, 2004.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Imanuddin, khalil. Pengantar Islamisasi ilmu Pengetahuan dan Sejarah. Jakarta:
Media, Dakwah, 1994.
Rahmat, Aceng. Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Masyarakat Agraris: Madura, Jogjakarta: MATABANGSA, 2002.
Yusufian, Hasan, dkk. Akal Dan Wahyu, Jakarta: Sadra press, 2011.
Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab: Universitas Sumatera Utara),
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi, Jakarta Selatan: Hikmah, 2003.
Drajat, Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012.
Hermawan, Heris. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2009.
[1] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm. 14.
[2] Ibid. 15.
[3] Muhammad Musleh, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Blukar, 2012), hlm. 36.
[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,2004), hlm. 17
[5] Ibid. 19.
[6]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009),hlm. 13.
[7]Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm.19.
[8]. Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm. 20.
[9] Ibid. 21.
[10] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 106.
[11] Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis (Pamekasan: STAIN Press, 2013), hlm. 96
[12] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi (Jakarta Selatan: Hikmah, 2003), hlm. 329.
[13] Ibid,.330.
[14]Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. (Wynccote USA: The
International Institute of Islamic Thought, 1982), hlm.17
[15] Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab. Universitas Sumatera Utara), hlm. 4.
[16] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi (Jakarta Selatan: Hikmah, 2003), hlm. 329.
[17]Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what? (Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986), hlm.45.
[18] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 114.
[19] Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab. Universitas Sumatera Utara), hlm. 9.
[20] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 115.
[21] Ibid.,16.
[22] Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Masyarakat Agraris: Madura (Jogjakarta: MATABANGSA, 2002), hlm. 9.
[23]Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 127.
[24] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN press, 2009),hlm. 98.
[25] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm.436.
[26] Dr. Aceng Rahmat dkk. Filsafat Imu Lanjutan. Hlm. 63
Berkat dia pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai badai kritik dan kecaman. Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak optimal.
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat, ini dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan strategis sekarang, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan.
Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.
Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.
Pemikirannya, ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi ini sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
"Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama," kilahnya.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan', itu dituangkan dalam banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya telah di Indonesiakan).
Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama, dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.
Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita 'Islamisasi ilmu pengetahuan
B. Saran-Saran
Islam terdiri dari banyak sisi, terkadang islam dipandang sebagai agama yang mudah untuk dipahami dan dilaksanakan, namun terkadang pula dipahami sebagai agama yang sulit karena rumitnya sebuah pemahaman tentang islam secara menyeluruh. Islam tidak hanya menjadi agama belaka, melainkan juga sumber kajian keilmuan yang lengkap dan komprehensive secara universal maupun partikular.
Filsafat pendidikan islam merupakan kajian tentang bagaiman kita mampu memcari dan memaknai konsep pendidikan yang berdasarkan asas-asas keislaman. Kajian pendidikan ini berorientasi terhadap penguasaan ilmu pengetahuan yang ada dalm islam itu sendiri maupun pengetahuan modern yang kita sebut sains baru-baru ini.
Peralihan mulai deras, peralihan budaya menuju global, klasik menuju modern telah mengikis nilai-nilai islam yang menyatu dengan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam sumber islam yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hal ini sangat cocok dengan konsep islamisasi Isma’il raji Al-Faruqi sebagai metode pemecahan dan penolakan terhadap unvalidasi keilmuan yang kemudian dialihkan menjadi sains.
Umat islam ada pada kemudahan zaman yang semuanya identik dengan metode, gaya, trobosan baru pada era ini, maka setidaknya jangan pernah lupa terhadap pemahaman atau pencarian keterkaitan sains dengan agama yang tidak boleh hilang.
Islamisasi ini bertujuan memberikan sebuah petunjuk bagi para umat islam bahwa ilmu memang tidak boleh terpisah dari agama sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh seorang tokoh “ Sains tanpa agama itu buta, agama tanpa ilmu itu pincang” . Kedudukan keduanya tidak boleh dipisahkan, sebab agama dasar dari kelimuan, sedangkan keilmuan itu sendiri sebagai refleksi agama yang dituangkan dalam bentuk keilmuan sebagai kesejahteraan dan peradaban hidup manusia dimuka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baharun, Hasan dkk. Metodologi Studi Islam: Pecikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2013.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Blukar, 2004.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2009.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Imanuddin, khalil. Pengantar Islamisasi ilmu Pengetahuan dan Sejarah. Jakarta:
Media, Dakwah, 1994.
Rahmat, Aceng. Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Masyarakat Agraris: Madura, Jogjakarta: MATABANGSA, 2002.
Yusufian, Hasan, dkk. Akal Dan Wahyu, Jakarta: Sadra press, 2011.
Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab: Universitas Sumatera Utara),
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi, Jakarta Selatan: Hikmah, 2003.
Drajat, Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012.
Hermawan, Heris. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2009.
[1] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm. 14.
[2] Ibid. 15.
[3] Muhammad Musleh, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Blukar, 2012), hlm. 36.
[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,2004), hlm. 17
[5] Ibid. 19.
[6]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009),hlm. 13.
[7]Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm.19.
[8]. Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2009), hlm. 20.
[9] Ibid. 21.
[10] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 106.
[11] Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis (Pamekasan: STAIN Press, 2013), hlm. 96
[12] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi (Jakarta Selatan: Hikmah, 2003), hlm. 329.
[13] Ibid,.330.
[14]Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. (Wynccote USA: The
International Institute of Islamic Thought, 1982), hlm.17
[15] Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab. Universitas Sumatera Utara), hlm. 4.
[16] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardlawi (Jakarta Selatan: Hikmah, 2003), hlm. 329.
[17]Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general principles and the workplan dalam Knowledge for what? (Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986), hlm.45.
[18] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 114.
[19] Rahimah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi. (Berupa makalah yang ditulis. Program Studi Bahasa Arab. Universitas Sumatera Utara), hlm. 9.
[20] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 115.
[21] Ibid.,16.
[22] Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Masyarakat Agraris: Madura (Jogjakarta: MATABANGSA, 2002), hlm. 9.
[23]Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 127.
[24] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN press, 2009),hlm. 98.
[25] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm.436.
[26] Dr. Aceng Rahmat dkk. Filsafat Imu Lanjutan. Hlm. 63
Komentar
Posting Komentar