Islam dan Pokok-Pokok Ajarannya
A.
Pengertian Islam
Pengertian islam dapat kita bedah dari dua pengertian, yaitu bahasa
dan istilah. Dari segi bahasa, islam berasal dari bahasa arab, yaitu salima yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai, dari kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslamah yang berarti berserah diri masuk
dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat
kepada Allah SWT akan terasa damai dalam hidupnya dan disebut sebagai orang
muslim. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata islam dari
kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Sang
Pencipta. Dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Hal itu dilakukan atas dasar kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan
paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya
sebagi makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk
kepada Allah SWT.
Adapun pengertian
islam secara istilah, banyak ahli yang mendefinisikannya. Harun nasution
mengatakan bahwa islam menurut istilah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui NabiMuhammad SAW. Sebagai rasul. Islam
pada hakikatnya tidak hanya membawa ajaran yang sempit membahas tentang
hubungan dengan Tuhan. Tetapi juga
mengenal berbagai segi dari kehidupan manusia. Sementara itu Maulana Muhammad
Ali mengatakan bahwa islam adalah agama kedamaian yang memiliki dua ajaran
pokok yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia yang lalu
menjadi bukti nyata bahwa agama islam selaras dengan namanya. Islam bukan saja
dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagai mana yang di sebutkan dalam
Al- Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tidak sadar tunduk
sepenuhnya pada undang-undang Allah dalam Al- kitab.
Agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW, dan yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya dinamakan islam,
karena menunjukkan hakikat dan esensi agama tersebut. Arti kata “islam” adalah masuk dalam perdamaian, dan seorang
muslim adalah orang yang membuat perdamaian dengan Tuhan dan juga manusia.
Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh terhadap perintah Allah, sedangkan
damai dengan manusia tidak hanya berarti meninggalkan pekerjaan buruk dan
menyakiti orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain.
Islam mencakup
semua ajaran yang sebelumnya telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh
karena itu, islam menuntut pemeluknya untuk percaya kepada semua agama didunia
yang mendahului agama islam datang ke muka bumi jagad raya. Seorang muslim juga
harus percaya kepada para Nabi dan Rasul yang turun sebelum Nabi Muhammad.
B. Sumber Pokok Ajaran Islam
Sumber ajaran islam pada intinya tidak lepas dari wahyu Allah SWT.
Yang dituangkan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2
bulan 22 hari yaitu mulai malam 17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai
9 dzulhijjah haji wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H. Al-Qur’an diturunkan dalam 2 fase yaitu fase
pertama selama 13 tahun, sebelum beliau hijrah ke madinah, dan fase ke dua10
tahun, setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain Al – kitab juga ada As-Sunnah,
serta pula Qiyas, Ijma’ yang diperoleh hasil Ijtihad para ulama’
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir diturunkan laksana mata
air yang tidak pernah kering. Semakin digali, semakin memancarkan airnya.
Para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dan para saalafusshalih kita,
laksana yang meminum air lautan semakin mereka banyak membaca dan mengamalkan
maka semakin mereka dahaga. Al –Qur’an sebagai sumber ajaran islam yang pertama
memiliki ke istimewahan dibandingkan dengan sumber agama-agama lain selain
agama kita islam.
Didalam Al-Qur’an banyak mengandung banyak pesan-pesan yang berupa
petunjuk, prinsip-prinsip keimanan yang kita kenal rukun iman yang enam, selain
itu juga terdapat prinsip syari’at tentang ibadah seperti shalat dan puasa
serta zakat. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu mengandung banyak ilmu pengetahuan
dan agama yang menyangkut seluruh element kehidupan seperti hubungan sosial
manusia, dan hubungannya dengan alam semesta. Maka dari hal diatas telah jelas
mungkin menyingkap mengapa Al-qur’an menjadi dasar utama dalam penegasan dan
undang-undang dalam islam
Al-Qur’an adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber
nilai objektif, universal, dan abadi karena diturunkan dari Dzat Yang Maha
Tinggi, kehujjahan Al-Qur’an dapat dibenarkan karena ia merupakan sumber segala
macam aturan tenttang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan
sebagainya, yang harus dijaadikan pandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam
memecahkan setiap persoalan. Demikian pula Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim
yang memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para
pemimpin, dan lain-lain. Sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi ide,
kepercayaan, undang-undang yang salah dikalangan umat beragama, Al-Qur’an
merupakan penguat bagi kebenaran kitab-kitab suci sebelumnya yang dianggap
positif, dan memodifikasi ajaran-ajaran yang usang dengan ajaran-ajaran yang
baru dianggap lebih positif. Fungsi itu berlaku karena isi kitab-kitab suci
terdahulu terdapat perubahan dan perombakan dari aslinya oleh para pemeluknya
menjadi kitab yang isinya dianggap kurang relevan dengan perubahan dan perkembengannya
zaman daan tempat.
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat.
Salah satu diantaranya adalah keotentikan Al-Qur’an yang dijamin Oleh Allah dan
ia adalah kitab yang selalu dipelihara sebagai mana Firman-Nya yang Artinya : “sesungguhnya
kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami yang (pula) yang memeliharanya ” (Q.S. Al-Hijr[15]:9)
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Qur’an yang dijamin
melalui Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan
makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Dengan jaminan diatas, setiap umat islam
percaya bahwa apa yang dibaca dan didengar sebagai Al-Qur’an tidak berbeda
dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW. Serta yang didengar dan
dibaca oleh para sahabat pula.
2. As Sunnah
Kedudukan As Sunnah atau Hadits sebagi sumber hukum dan ajaran
islam menempati posisi ke dua setelah Al Qur’an, selain didasarkan terhadap
Al-Qur’an Sendiri dan Hadits juga terhadap pendapat para sahabat. Seluruh
sahabat sepakat untuk menetapkan wajib mengikuti Hadits baik pada Rasulullah
masih hidup maupun telah wafat sebagaimana Firman Allah yang artinya : “ Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka
tinggalkanlah “ (Q.S. Al- Hasyr[59]:7) dan sebagaimana pula
Firman-Nya “ dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati
denga Idzin Allah “(Q.S. An-Nisa’[4]: 64).
Dalam literatur hadits dijumpai beberapa istilah yang mungkin kita
telah jumpai seperti al hadits, As Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Atsar.
Ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama’ hadits adalah sama dengan
terminologi Al-Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Definisi
ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap Nabi sebagai suri teladan yang
baik bagi manusia.
Umat islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW, dipakai sebagai
pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Ajaran-ajaran islam yang tidak
ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih
utuh dalam keadaan Al-Qur’an yang masih universal membutuhkan keterangan dan
penafsiran lanjutan, maka dalam rangka memperjelas dan menguatkan serta
menjelaskan ketidak jelasan dalam Al-Qur’an maka datanglah Hadits. Seandainya
usaha ini mengalami kegagalan memerlukan ijtihad baru untuk menghindari
kekosongan hukum dan amaliyah, baru dialihkan untuk mencari padoman lain yang
dibenarkan oleh syariat, baaik berupa ijtihad perseorangan maupun kelompok yang
terwujud dalam bentuk ijma’ ulama’ atau pedoman lainnya, sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa syariat.
Nabi seorang yang mashum(terjaga dari perbuatan hina, dosa, dan
maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allah dari
segala apa yang menurunkan citranya sebagai rasul sebagai mana Firman-Nya dalam
Q.S. An-Najm :3 – 4 yang artinya ; “ Dan tidaklah yang diucapkannya
itu(Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an)adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya) “
Selain itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penguat terhadap
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kedua-duanya
bersama-sama menjadi sumber hukum dan pedoman hidup umat islam. Misalnya dalam
Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah mengharamkan bersaksi palsu “Dan jauhilah
dusta “ (Q.S. Al-Hajj ; 30).
3. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada. Yang diartikan
kekuatan atau kesanggupan sehingga menjadi sebuah simpulan bahwa ijtihad adalah
pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan umtuk memperoleh apa yang dituju
sampai pada batas puncaknya.
Bagi mayoritas ulama’ ushul fiqh, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
tingkat zhan mengenai hukum syara’. Definisi ini telah terpadu dari beberaapa
tokoh yang mendifinisikan yang berinti pada pengertian mayoritas diatas.
Dari definisi diatas, pada dasarnya setiap muslim yang sudah
mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid diharuskan berijtihad
dalam semuan bidang hukum syariat. Mengenai hukum melakukan ijtihad ini, para
ulama’ membagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Wajib
ain, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya,
atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahuinya.
b.
Wajib
kifayah, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
tidak dikhawatirkan lenyapnya terhadap peristiwa itu, sedangkan selaain dia
masih terdapat para mujtahid lain. Oleh karena itu. Apabila semua mujtahid
tidak ada yang melakukan ijtihad, merekan berdosa semua. Akan tetapi bila ada
seseorang dari mereka memberikan fatwa hukum, gugurlah tuntutan ijtihad atas
diri mereka.
c.
Sunat,
yaitu apabila melakukaan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum diatas sebenarnya sudah cukup jelas menggambarkan urgensi
upaya ijtihad, karena ijtihad dapat mendinamisasikan hukum islam dan megoreksi
kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang telah lalu. Lebih lanjut ijtihad
merupakan upaya memperbaharui hukum islam. Hal sedemikian pernah diungkapkan
oleh Ibnu Hajib bahwa ijtihad harus merujuk pada aspek-aspek pembaharuan
terhadap masalah-masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama pendahulu,
sedangkan untuk masalah yang telah diijtihadi tidak perlu di perbaharui
kembali. Sebab hal itu dikhwatirkaan menjadi aktifitas yang sia-sia. Nabi
pernah bersabda tentang ijtihad “apabila seorang hakim menetapkan hukum
dengan berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila ia
menetapkan hukum dalam berijtihad itu dan ia salah, ia mendapatkan satu pahala(H.R.
Asy-Syafi’i dari Amr Bin Ash).
Sahabat yang lain seperti Abu bakar terutama dan umar bin Khattab
juga melakukan ijtihad, yakni membuat keputusan berdasarkan Al-Qur’an, As
Sunnah, dan ijtihad jika didalam kedua kitab tersebut, tidak ditepati
penyelesaiannya.
C. Pokok-Pokok Ajaran Islam
Allah menurunkan Agama islam kepada Muhammad dalam nilai dan
kesempurnaan tertinggi. Kesempurnaan itu meliputi segi fundamental tentang
berbagai aspek kehidupan manusia berupa hukum dan norma, untuk mengantarkannya
ke pintu gerbang kebahagiaan dunia akhirat. Oleh sebab itu ajaran-ajaran Islam
bersifat eternal dan universal sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya.
Dimensi ajaran
islam secara garis besar terhimpun dan terklasifikasikan dalam tiga hal pokok,
yaitu : akidah, syariat, dan akhlak, yang masing-masing sebagai subsistem dari
sistem ajaran islam. Artinya akidah tanpa syariat adalah omong kosong, demikian
juga syariat harus berdiri di atas fondasi akidah. Dan kebudayaan haruslah
dijalin dengan akhlak. Syariat tanpa akhlak adalah kemunafikan, dan akidah
tanpa akhlak adalah kesesatan.
1.
Akidah
Akidah islam adalah penutup akidah bagi agama-agama yang lain yang
pernah diturunkan Allah sebelumnya, bersama dengan di utusnya Nabi Muhammad
sebagai Rasul terakhir.
Secara harfiah, aakidah artinya sesuatu yang mengikat atau terika,
tersimpul. Adapun sebagai istilah, akidah islam adalah sistem kepercayaan dalam
islam. Mengapa disebut akidah? Karena kepercayaan mengikat penganutnya dalam
bersikap dan bertingkah laku. Orang yang kuat akidahnya terhadap keadilan
Tuhan, keyakinan itu mengiktanya dalam bersikap terhadap suatu nilai dan
selanjutnya mengikat terhadapa perilakunya. Sebaliknya, orang yang tidak kuat
keyakinannya kepada keadilan Tuhan, ia mudah menyerah dalam berjuang dan bisa
dinegosiasi untuk toleran terhadap penyimpangan, mudah terpancing untuk
membalas dendam dengan cara yang menyimpang dari aturan.
Sistem kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi ilmu, yang
disebut ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin. Ilmu tauhid berbicara tentang rukun
iman yang enam meliputi, percaya kepada Tuhan, Malaikat, Kitab suci, Rasul,
Hari Kiamat, dan Qadha’ dan Qadar. Kajian dari filosofis dari ilmu tauhid
disebut ilmu kalam, disebut juga teologi yaitu ilmu yang membicarakan tentang
ketuhanan.
Secara garis besar, teologi islam dapat dibagi menjadi dua aspek
atau tipe, yaitu jabariyah dan qadariyah. Jabariyah lebih menekankan pada
kekuasaan Tuhan yang Maha Mutlak sehingga menempatkan diri manusia pada posisi
wayang, yang segalanya bergantung pada dalang. Manusia tidak memiliki kekuasaan
untuk menentukan perbuatannya. Oleh karena itu, orang masuk syurga atau neraka
itu bukan karena amalannya tetapi karena kehendak Mutlak Tuhan. Paham qadariyah
lebih menekankan sifat keadilan Tuhan sehingga menempatkan posisi manusia yang
memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatannya, dan dengan keadilan-Nya,
Tuhan akan memberikan pahala kepada manusia yang berbuat baik dan menghukum
kepada manusia yang berdosa.
Secara sosial, penganut teologi islam dapat dibagi menjadi dua,
yaitu syi’ah dan sunny. Golongan sunny memandang semua manusia adalah sama di depan
Tuhan, yang membedakan adalah ketakwaannya kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap
muslim, dari manapun saja asalnya, memiliki hak yang sama untuk menjadi
pemimpin sepanjang memenuhi syarat. Golongan sunny ini memandang empat sahabat(Abu
bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dalam posisi yang setara dan sah kekhalifahannya.
Adapun golongan syi’ah mengklaim adanya hak-hak istimewa keturunan
Nabi –dalam hal ini anak-anak Ali bin abi thalib melalui ibu Fatimah(putri
Nabi)- sebagai pewaris sah kepemimpinan umat islam. Abu bakar, Umar, dan Utsman
di nilai merampas hak-hak politik Ali bin abi thalib. Anak cucu Ali bin abi
tahlib kemudian disebut sebagai golongan Alawiyyin atau secara sosiologis di
Indonesia disebut habaib. Syi’ah itu artinya golongan, dan sepanjang sejarah
Islam, kelompok ini selaalu menjadi korban politik karena merekas sangat
potensial mengorbankan semangat oposisi terhadap penguasa Sunny. Hanya di Iran,
yang dibangun konsep wilayat al faqih,(otoritaas ulama) dimanaa para
mullah(kelompok Alawiyyin yang terdidik) memiliki hak-hak istimewa
poloitik(disebut imamat) dengaa puncaknya, Ayatullah al- Uzma(pertama. Imam
Khumaini kemudian diganti Khameini).
2.
Syari’at
Kata syari’at secara harfiah artinya jalan raya atau jalan
ke sumber(mata) air.atau bermakna jalannya suatu hukum atau
perundang-undangan. Kemudian kata ini di imbuh dengan kata “islam” menjadi
syari’at islam, yaitu secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui
dan diapatuhi oleh umat Islam. Sebagai istilah keislaman, syari’at adalah
dimensi hukum atau peraturan dari ajaran Islam sendiri. Disebut syari’at karena
aturan itu dimaksudkan untuk memberikan jalan atau mengatur lalu lintas
perjalanan hidup manusia. Lalu lintas perjalanan hidup manusia itu, ada yang
bersifat vertical ada yang bersifat horizontal maka syari’at juga mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan
hubungan manusia dengan Tuhan berwujud kewajiban manusia menjalankan ritual
ibadah rukun islam yang lima. Aturan dalam beribadah kepada Tuhan berisi
ketentuan tentang syarat,rukun,sah, batal, sunnat,(dalam haji ada wajib),
makruh. Prinsip ibadah itu tunduk dan merendah kepada Tuhan, tidak banyak
mempertanyakan mengapa begini dan begitu, pokoknya siap mengerjakan perintah
dan tidak berani melanggar sedikitpun.
Adapun lalu lintas pergaulan menusia sifatnya dinamis, dengan
merespons perubahan, dengan prinsip-prinsip
a.
Pada
dasarnya agama tidak picik, mudah dan tidak mempersulit terhadap umat manusia.
b.
Memperkecil
beban dan tidak memberatkan
c.
Dan
penerapan hukum secara bertahap.
Karena adanya beberapa prinsip diatas kemudian peranan manusia
–dalam hal ini –dalam merumuskan aturan-aturan syari’at sangat besar dalam
bentuk ijtihad, yakni denga akal dan hatinya, ia merumuskan ketentuan-ketentuan
hukum berdasarkan Al-Qur’am dan hadits. Al-Qur’an menjelaskan secara detail
tentang waris, tetapi selebihnya hanya dasar-dasarnya saja yang disebut.
Tentang politik misalnya, Al-Qur’an tidak menentukan bentuk negara, apakah
republik atau kerajaan. Contoh pemerintahan Nabi dan Khulafa Rasyidin juga
sangat terbuka untuk disebut kerajaan atau republik.
Dari sudut keilmuan kemudian, syari’at menghasilkan ilmu yang
disebut fiqh, dan ahlinya disebut faqih-fuqaha. Karena fiqhb itu adalah produk
ijtihad, tidak bisa dihindari atas adanya perbedaan pendapat. Inilah yang
melatarbelakangi lahirnya pemikiran mazhab seperti Syafi’I, Maliliki, Hanafi,
dan Hambali. Ulama yang tinggal di kota metropolitan pada umumnya memiliki
pandangan yang dinamis dan rasional, sedangkan ulama’ yang tinggal di kota
agraris seperti Madinah misalnya pada umumnya puritan dan tradisional. Kajian
fiqh berkembang sesuai dengan tuntutan zaman maka disamping ada fiqh ibadah,
fiqh munakahat, fiq al mawarits, juga ada fiqh politik(fiqh as siyasah),
dan sekarang sedang dikembangkan fiqh sosial, fiqh jender, fiqh Indonesia, fiqh
gaul dan sebagainya.
3.
Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan
akhlak, yaitu pendekatan linguistic(kebahasaan), dan pendekatan terminologik(peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab yang berarti perangai,
tabiat(kelakuan atau watak dasar), kebiasaan atau kelaziman, dan peradaban yang
baik. Adapun pengertian akhlak menurut istilah seperti yang di ungkapkan
Al-Ghazali, adalah sifat yang telah tertanam dalam jiwa manusia yang
menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran sebelumnya.
Akhlak merupakan dimensi nilai yang terpantulkan dari syari’at
islam. Kualitas keberagamaan justru ditentukan oleh nilai Akhlak. Jika syari’at
berbicara tentang syarat dan rukun, sah atau tidak sah, sedangkan akhlak
meninjaunya atau menekankan dari dimensi kualitas perbuatan, misalnya beramal
dilihat dari keikhlasannya, sholat dilihat dari kekhusukannya, berjuang dilihat
dari kesabarannya, haji dilihat dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari
konsistennya dengan perbuatan, harta dilihat darimana dan untuk apa, jabatan,
dilihat dari apa yang telah diberikan bukan apa yang diterima.
Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran islam,
pembidangan akhlak juga vertical dan horizontal. Ada akhlak manusia kepada
Tuhan dan juag akhlak manusia kepada sesamanya dan juga kepada diri sendiri,
dan akhlak manusia kepada hewan dan juag kepada tumbuhan. Definisi akhlak
adalah keadaan bathin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dan perbuatan itu
lahir secara spontan tanpa berpikir untung rugi. Dan kajian yang mendalam
tentang akhlak ini dilakukan oleh ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah panjang lebar diatas perlu kiranya
penyusun memberikan kesimpulan terhadap makalah ini. Islam adalah agama yang
membawa kedamaian dan tidak memberatkan umat manusia bahkan islam memberikan
petunjuk terhadap manusia dengan adanya Al-Qur’an, barang siapa yang tunduk dan
taat terhadap Tuhan maka hatinya akan damai.
Islam tidak
membiarkan umat berjalan tanpa adanya sumber yang dijadikan pedoman dalam
mencari dan menggali ajaran islam, maka islam memberikan Al-Qur’an yang berfungsi
sebagai petunjuk, obat, rahmat, serta control sosial maanusia, selain Al-Qur’an
juga ada yang namanya hadits, yang berfungsi sebagai penjelas dan pentaukidan
terhadap hukum dan perihal yang telah ada dalam Al-Qur’an, yang selanjutnya ada
ijtihad, yang diartikan sanggup yang dilaksanakan untuk mendatangkan kejelasan
hukum syara’ yang belum tertuangkan(kurang jelas dan masih bersifat umum) dalam
sumber-sumber yang telah ada, maka dari
hal itu islam telah memberikan sebuah kesinambungan bila di anatra sumber yang
telah ada tidak ditemukan tuntunan dan kepastian terhadap suatu hal yang
membingungkan umat islam.
Dalam tiga sumber
pokok islam diatas dapat kita dalami dan ketahui ada ajaran pokok islam yang
harus kita amalkan yaitu akidah yang berarti keyakinan terhadap rukun iman yang
enam, terus syari’at yang diartikan sebagai jalan dan undang-undang yang berupa
sistem yang bersifat horizontal dan vertical, selain itu juga ada akhlak yang
menurut Al-Ghazali merupakan sesuatu yang telah tertanam dalam hati kemudia
terlahir dalam bentuk perbuatan yang bersifat refleks tanpa adanya kontemplasi
dan pemikiran terlebih dahulu akan apa yang ingin diperbuat oleh orang
tersebut.
B. Saran – Saran
Saran-saran yang dapat penyusun berikan adalah perbanyaklah membca
buku dalam rangka meningkatkan cakrawala berfikir dan khazanah berfikir kita.
Mempelajari
ajaran-ajaran islam adalah hal yang wajib bagi segenap manusia yang mengakui
dirinya sebagai umat islam, sebab tanpa kita mempelajari hal itu maka kita
tidak akan pernah tau apa makna dan gunanya beragama islam.
Kita harus
mengetahui sumber-sumber ajaran islam biar kita tidak sembarang mencontoh
hal-hal yang kita ketahui dengan jelas, tetapi landasan dan dasar pengambilan
ilmu maupun perbuatan yang telah diterapkan dalam masyarakat kita tidak
berdasarkan sumber ajaran yang memang benar dari Tuhan dan Nabi, lebih-lebih
pada diri kita sendiri untuk dikorektif.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Abdullah Amin, Studi
Agama, cet. IV. 2004.
Nasution Harun, Islam ditinjau
dari berbagai aspek, cet. V. 1985.
Prof. Dr. Anwar Rosihon,
M.Ag dkk, Penganat Studi Islam, Badung: Pustaka Setia, cet. I . 2009.
Agus syafi’i, Dimensi-Dimensi
Ajaran Islam, http://mubarok-institute.blogspot. Com
Qurais shihab, Membumikan
Al-Qur’an,
Komentar
Posting Komentar