Al –QUR’AN MENGAJAK BERFILSAFAT
Alqur’an adalah risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir pula sebagai penyempurna terhadap risalah-risalah yang lain yang turun sebelumnya kepada para rasul sebelumnya, kata penyempurna menunjukkan bahwa keberadaan Al-Qur’an sebagai pelengkap dari semua dimensi yang belum tercakup didalam kitab-kitab sebelumnya. Hal ini menjadi kebanggaan terhadap umat Muhammad yang mampu membaca dan menikmati Al-Qur’an sehingga tidaklah mungkin secara keotentikan dan kelengkapan Al-Qur’an pada kali ini diabaikan demi sumber Ajaran yang lainnya. Membahas dan membahasakan Al-Qur’an tidaklah mudah semudah memetik gitar, ataupun semudah melahap roti yang ada digenggaman tangan, tetapi perlu metodologi pemahaman mengenai kandungan yang terdapat didalamnya. Al Qur’an memberikan metodologi secara garis besar terhadap pencapaian makna dan kandungan Al-Qur’an,
pertama, Al-Qur’an Mengajak berpikir, seruan Al-Qur’an untuk mengajak berpikir memiliki bentuk yang bervariasi seperti, (nazdar) memandang secara seksama,( tafakkur) berpikir, (tadabbur) merenungkan, (I’tibar) mengambil pelajaran,( tadzakkur) menyadari,(tafaqquh) mendalami pemahaman. Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa menolak akal sama dengan menentang logika Al-Qur’an. Normalitas yang ada dalam Al-Qur’an dengan ajakan yang bervariasi diatas mengindikasikan bahwa titik temu Al-Qur’an dengan filsafat yaitu pada proses penggapaian rasinal terhadap kebenaran, persamaan titik dalam Al-Qur’an dan filsafat semakin mengkuatkan prinsip refleksifitas obyektif tuntunan berfilsafat dalam Al-Qur’an.
Kedua, Al-Qur’an merumuskan Argumentasi Rasional, Al-Qur’an mempercayai argumentasi rasional tidak hanya kepada para audiensinya. Argumentasi yang terjadi di sejumlah tempat khusunya yang berkaitan dengan tema ketuhanan, kenabian, dan hari pembalasan, Al-Qur’an meberikan pembuktian yang rasional, misalnya tentang tauhid, Allah berfiman yang artinya : Dan kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, sudah tentu kedunya akan hancur binasa (QS Al-Anbiya’ [21]:22). Selain itu Al-Qur’an juga menentang para penentngnya agar berargumentasi secara rasional sebagai mana yang terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya ; Dan mereka mengatakan “ tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang yaahudi dan nasrani, “. Itu hanya angan-angan kosong belaka. Katakanlah, “ kemukakanlah buktimu, jika kamu memang benar “ (QS Al-Baqarah[2]: 111). Sangat disayangkan, kalangan pemikir konservatif kerap menajamkan perbedaan antara logika Al-Qur’an(kandungan makna) dengan logika yunani(filsafat), dan memperkenalkan argumentasi rasional Al-Qur’an sui generis,yaitu sangat istimewa dan benar-benar berbeda. Sikap ini lebih disebabkan oleh kekhawatiran mereka akan setatus terhormat Al-Qur’an dan kedudukannya dengan pola-pola argumentasi rasional yang apabila tidak dipisahkan Al-Qur’an akan terdegradasi hingga menjadi sebatas pengetahuan lazim manusia.
Ketiga, Al-Qur’an mengacu prinsip kausalitas, prinsip kausalitas merupakan basis pemikiran rasional. Tanpa mengakuinya, seorang akan mustahil berfilsafat (membangun argumentasi rasional), kita mengetahui bahwa kausalitas merupakan salah satu metode yang juga sering di ungkap para filsuf dalam mencari kebijaksanaan(kebenaran) yang merupakan tujuan filsafat secara garis besar. Al-Qur’an senantiasa menhormati prinsip ini. Dan bahkan lebih dari sekedar menerima positif dan sebab-sebab yang lazim kita kenal, dalam perspektif Al-Qur’an juga terdapat relasi yang niscaya antara perbuatan buruk(sebab) buruk, dengan kerusakan(akibat) yang terjadi di dataran dan lautan merupakan bukti bahwa kausalitas didukung Al-Qur’an sebagaimana pula yang terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya ;
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia (QS Al-Rum[30]: 41). Hukum kausalitas ini, menurut sebagian ahli tafsir, dikuatkan secara jelas oleh Al-Qur’an, yaitu terdapatnya beberapa ayat yang ada dalam Al-Qur’an tentang hal tersebut. Seseorang akan memahami bahwa kapasitas makhluk sebagai sebab telah berada dalam rangkaian kausalitas yang di puncaki Allah. jadi prinsip ini sama sekali tidak bertentangan dengan dimensi-dimensi yang terdapat didalam hukum logika Al-Qur’an(naqli)
Keempat, Al-Qur’an menjelaskan filsafat hukum, falsafah di balik sekian banyaknya hukum(fiqih) bukan rahasia lagi bagi manusia. Kendati banyak juga aturan dalam hukum fiqih yang seolah-olah melampaui jangkauan pemahaman aklani, namun metode Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum Allah menunjukkan justru semua itu dapat dijangkau oleh nalar manusia. Al-Qur’an sendiri mengemukakan sejumlah falsafah sebagian hukum yang dijadikan sebagai metodenya adalah dengan memikirkannya. Ini tampak semisal landasan falsafah shalat yang sifatnya interpersonal yang akan terimplementasikan pada hubungan social. Al-Qur’an mengungkapkan :
Dan dirikanlah shalat ; sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS Al- Ankabut[29]:45). Pada ayat ini tidak hanya mengandung filsafat hukum, tetapi juga hukum kausalitas dan memang real bila kita tarik pada ranah ilmiah. Sedikit bingung mengartikan kata “dirikanlah “ bagaimana kita memahami teks menuju konteks, maka disinilah Al-Qur’an menuntut peran akal untuk brfilsafat atau berpikir demi mendekatkan teks terhadap konteks yang dijelaskan oleh Nabi Dalam hadits yaitu “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat “ pada hal ini pula kerangka filsafat mencari kebenaran dari sumber atau bukti sejarah yang benar tentang bagaimana Nabi melakukan shalat. Tentang energi atau rahasia dibalik shalat sulit diurut dan dilogikakan secara empiris. Terbukti shalat itu ibadah individu, yang rasa atau keadaan dalam melakukan shalat hanya bisa dirasakan setiap individu yang mengerjakannya karena sifatnya vertical(hubungan dengan Allah), sedangkan interpretasi dari “shalat mencegah dari perbuatan nahi dan mungkar” jelas dimaksudkan dalam hubungan sosial, disinilah terjadi peralihan individu menuju sosial, hukum vertikal adalah patuhnya terhadap Sang Maha kuasa akan memberikan dampak kesucian hati yang akan kita dapat, shalat adalah perintah Allah dan menjadi ibadah yang paling utama dan manakala manusia mengerjakan shalat(perintah) yang bernilaikan ibadah dengan iman dan taqwa maka Allah akan membimbing manusia dalam hubungannya sesama manusia dan hal ini terbukti secara teratur dari konsep menuju realitas, dan dari realitas menuju konsep. Terbukti sudah bahwa Al-Qur’an mengajak berfilsafat.
28, april 2013.
By ; ongki arista ujang arisandi
Status ; artikel
Komentar
Posting Komentar